PEMERINTAH perlu jujur bahwa target pertumbuhan ekonomi kita terlalu berat dicapai untuk saat ini. Padahal selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), target yang dicanangkan tidak lagi setinggi era pemerintahan sebelumnya.
Sepertinya sudah menjadi sebuah tradisi bahwa target pertumbuhan ekonomi hanyalah hitung-hitungan di atas kertas. Karena entah bagaimana ceritanya hampir di setiap periode, kita terus mengalami kesulitan mengejar target yang kita canangkan.
Apakah memang sudah menjadi sebuah strategi yang disengaja agar stakeholder pemburu pertumbuhan bisa memompa sumber dayanya secara optimal meskipun nantinya hasilnya akan di bawah target? Ataukah memang target pertumbuhan ekonomi adalah bidikan yang pergerakannya selalu liar?
Sepekan yang lalu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang realistis untuk menutup tahun 2017 hanyalah sekitar 5,05%. Angka tersebut berada di bawah proyeksi World Bank yang memperkirakan pertumbuhan kita akan mencapai 5,1%.
Menjelang berakhirnya periode anggaran 2017, gambaran mengenai realisasi indikator pembangunan perlahan-lahan mulai terpampang secara utuh. Pesimisme Menkeu dapat disimpulkan sebagai pertanda bahwa realisasi pembangunan ekonomi kita tahun ini lagi-lagi akan meleset dari target.
Selain berkenaan dengan target pertumbuhan ekonomi, bidikan lainnya yang sering lepas di bawah kendali adalah realisasi penerimaan pajak. Pajak menjadi satu aspek yang amat penting karena memengaruhi sirkulasi sebagian besar belanja negara kita.
Dalam lima tahun terakhir, penerimaan pajak menopang rata-rata di atas 75% dari keseluruhan penerimaan negara. Nah tahun ini Menkeu lagi-lagi memperkirakan akan terjadi shortfall (kurang) sekitar Rp110 triliun–130 triliun.
Jika dirasiokan dengan total target perpajakan, level realisasi kita tahun ini hanya akan mencapai sekitar 89,87% hingga 91,4% dari target outlook 2017 sebesar Rp1.283,6 triliun. Efek dari adanya tradisi shortfall ini akan sedikit mengganggu neraca APBN kita di masa mendatang. Penyebabnya karena kita secara rutin terpaksa harus berutang untuk menutupi shortfall tersebut.
Nah, bahayanya di masa mendatang, lagi-lagi kas negara kita akan terpotong sekian persen untuk membayar jatuh tempo utang beserta bunga-bunganya. Oleh karena itu sangat wajar jika kita menganggap dari sisi fiskal Indonesia akan mengalami tekanan fiskal yang lumayan berat (walaupun masih bisa ditoleransi).
Akan tetapi pemerintah tidak perlu gegabah hingga membabi buta untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak. Tax ratio kita saat ini memang tertahan di kisaran 10%. Namun pada saat ini opsi untuk meningkatkan beban (persentase) pajak masih sangatlah tabu karena perekonomian kita bisa dibilang masih dalam tahap recovery. Potensi untuk tumbuh dari sisi fiskal masih cukup besar, khususnya untuk memperluas basis pajak.
Kemenkeu (2017) menjelaskan bahwa hingga saat ini dari total penduduk Indonesia yang bekerja yang mencapai 121,02 juta jiwa menurut BPS (2017), baru 36 juta di antaranya yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dari jumlah tersebut baru 16 juta di antara pemilik NPWP yang diwajibkan secara rutin melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajak. Namun hanya 11,6 juta yang tertib melaporkan SPT-nya.
Oleh karena itu pemerintah belum waktunya panik dengan kondisi ini. Lebih baik pemerintah tetap fokus melakukan perbaikan administrasi serta SDM perpajakan. Termasuk dukungan regulasi yang lain seperti PMK Nomor 73 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Memperluas Kantong Pendapatan
Karena pilihan untuk mengeksploitasi wajib pajak yang sudah eksis bukanlah opsi yang bijak, pemerintah harus menghidupkan alternatif lain yang dapat membantu meringankan beban fiskal negara. Opsi alternatif yang terdekat ialah memanfaatkan investasi yang tengah ditanam pemerintah melalui dana desa.
PEMERINTAH perlu jujur bahwa target pertumbuhan ekonomi kita terlalu berat dicapai untuk saat ini. Padahal selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), target yang dicanangkan tidak lagi setinggi era pemerintahan sebelumnya.
Sepertinya sudah menjadi sebuah tradisi bahwa target pertumbuhan ekonomi hanyalah hitung-hitungan di atas kertas. Karena entah bagaimana ceritanya hampir di setiap periode, kita terus mengalami kesulitan mengejar target yang kita canangkan.
Apakah memang sudah menjadi sebuah strategi yang disengaja agar stakeholder pemburu pertumbuhan bisa memompa sumber dayanya secara optimal meskipun nantinya hasilnya akan di bawah target? Ataukah memang target pertumbuhan ekonomi adalah bidikan yang pergerakannya selalu liar?
Sepekan yang lalu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang realistis untuk menutup tahun 2017 hanyalah sekitar 5,05%. Angka tersebut berada di bawah proyeksi World Bank yang memperkirakan pertumbuhan kita akan mencapai 5,1%.
Menjelang berakhirnya periode anggaran 2017, gambaran mengenai realisasi indikator pembangunan perlahan-lahan mulai terpampang secara utuh. Pesimisme Menkeu dapat disimpulkan sebagai pertanda bahwa realisasi pembangunan ekonomi kita tahun ini lagi-lagi akan meleset dari target.
Selain berkenaan dengan target pertumbuhan ekonomi, bidikan lainnya yang sering lepas di bawah kendali adalah realisasi penerimaan pajak. Pajak menjadi satu aspek yang amat penting karena memengaruhi sirkulasi sebagian besar belanja negara kita.
Dalam lima tahun terakhir, penerimaan pajak menopang rata-rata di atas 75% dari keseluruhan penerimaan negara. Nah tahun ini Menkeu lagi-lagi memperkirakan akan terjadi shortfall (kurang) sekitar Rp110 triliun–130 triliun.
Jika dirasiokan dengan total target perpajakan, level realisasi kita tahun ini hanya akan mencapai sekitar 89,87% hingga 91,4% dari target outlook 2017 sebesar Rp1.283,6 triliun. Efek dari adanya tradisi shortfall ini akan sedikit mengganggu neraca APBN kita di masa mendatang. Penyebabnya karena kita secara rutin terpaksa harus berutang untuk menutupi shortfall tersebut.
Nah, bahayanya di masa mendatang, lagi-lagi kas negara kita akan terpotong sekian persen untuk membayar jatuh tempo utang beserta bunga-bunganya. Oleh karena itu sangat wajar jika kita menganggap dari sisi fiskal Indonesia akan mengalami tekanan fiskal yang lumayan berat (walaupun masih bisa ditoleransi).
Akan tetapi pemerintah tidak perlu gegabah hingga membabi buta untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak. Tax ratio kita saat ini memang tertahan di kisaran 10%. Namun pada saat ini opsi untuk meningkatkan beban (persentase) pajak masih sangatlah tabu karena perekonomian kita bisa dibilang masih dalam tahap recovery. Potensi untuk tumbuh dari sisi fiskal masih cukup besar, khususnya untuk memperluas basis pajak.
Kemenkeu (2017) menjelaskan bahwa hingga saat ini dari total penduduk Indonesia yang bekerja yang mencapai 121,02 juta jiwa menurut BPS (2017), baru 36 juta di antaranya yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dari jumlah tersebut baru 16 juta di antara pemilik NPWP yang diwajibkan secara rutin melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajak. Namun hanya 11,6 juta yang tertib melaporkan SPT-nya.
Oleh karena itu pemerintah belum waktunya panik dengan kondisi ini. Lebih baik pemerintah tetap fokus melakukan perbaikan administrasi serta SDM perpajakan. Termasuk dukungan regulasi yang lain seperti PMK Nomor 73 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Memperluas Kantong Pendapatan
Karena pilihan untuk mengeksploitasi wajib pajak yang sudah eksis bukanlah opsi yang bijak, pemerintah harus menghidupkan alternatif lain yang dapat membantu meringankan beban fiskal negara. Opsi alternatif yang terdekat ialah memanfaatkan investasi yang tengah ditanam pemerintah melalui dana desa.
Strategi Presiden Jokowi untuk memperkuat manfaat dana desa melalui program padat karya cash for work juga perlu kita sambut dengan baik. Program ini bisa menghidupkan kekuatan konsumsi masyarakat desa melalui perbaikan lapangan kerja dan tingkat pendapatannya.
Dengan pembelajaran yang terjadi pada tahun 2017, penulis yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik, termasuk dari sisi pemerataan yang selama ini banyak dilupakan. Selama ini kita tidak cukup sadar bahwa era reformasi politik yang kemudian menjurus pada pola desentralisasi berjenjang ternyata memberikan mimpi buruk berupa kenaikan ketimpangan.
Dana desa dapat menjadi motor yang membawa desa agar pembangunannya tidak semakin tertinggal dari kota sehingga output dari dana desa ini sangat diharapkan mampu meningkatkan kelas ekonomi masyarakat desa, minimal agar derajat pendapatan mereka segera diangkat ke level pendapatan kelas menengah.
World Bank (2017) mengatakan bahwa para penduduk kelas menengah nantinya akan menjadi penyelamat perekonomian bagi Indonesia dengan perannya sebagai kantong baru penyuplai penerimaan pajak. Ketika dana desa sudah mampu meningkatkan derajat ekonomi masyarakat desa, berikutnya kita tinggal mengarahkan kebijakan lepas landas menuju Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas.
Kita juga berharap pada 2018 situasi politik di tengah gegap gempita pilkada dan menjelang pilpres juga tetap kondusif untuk masyarakat dan pelaku ekonomi lainnya. Demikian halnya juga kondisi perekonomian dapat membaik di persimpangan politik global yang terus menghangat berkat atraksi politik dari Korea Utara, Israel, dan Palestina serta kecenderungan strategi inward looking perekonomian yang dilakukan beberapa negara maju.
Walaupun begitu emerging market ternyata masih menunjukkan perkembangan positif dan sebagian besar mereka adalah partner Indonesia di dalam perekonomian.
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya