Capaian inflasi pada September 2016 kemarin memperkuat catatan adanya gejala yang unik pada Indeks Harga Konsumen (IHK) terkini di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis tingkat inflasi Indonesia pada September mencapai 0,22% (month to month), cukup konsisten pada angka yang sangat rendah untuk takaran inflasi di Indonesia.
Pada Agustus lalu bahkan terjadi deflasi sebesar 0,02% dan dianggap sebagai anomali, karena pada tahun-tahun sebelumnya, satu bulan pasca-momentum Ramadan dan Lebaran nyaris selalu terjadi inflasi. Peningkatan inflasi pada September yang paling menonjol dipicu oleh kenaikan harga pada kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga sebesar 0,52% dan kelompokmakananjadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,34%.
Berikutnya disusul oleh kelompokperumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 0,29%; kelompok sandang sebesar 0,13%; kelompok kesehatan sebesar 0,33%; serta kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,19%.Sedangkan kelompok pengeluaran yang lagi-lagi mengalami deflasi, yaitu kelompok bahan makanan sebesar 0,07%.
Interpretasi terhadap kondisi inflasi pun seringkali membawa keunikan tersendiri, karena terkadang antara otoritas moneter dan fiskal yang tugasnya sama-sama berposisi sebagai pawang (pengendali) inflasi bisa tidak satu suara dalam berasumsi.
Bagi Bank Indonesia (BI), capaian inflasi yang rendah pada bulan yang lalu dianggap mencerminkan kondisi sektor riil yang tengah stabil dan tidak sedang tegang, karena terjadinya inflasi yang tinggi biasanya didorong faktor kelangkaan atau kenaikan harga pada beberapa komoditas strategis. Namun di tengah kegembiraan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati justru khawatir kita tengah berada pada fase penurunan daya beli (purchasing power ) sehingga tingkat permintaan ikut melemah.
Bagi penulis, sebenarnya tidak ada yang salah pada setiap argumen yang dilontarkan kedua pihak, karena masing-masing lembaga turut melampirkan beberapa data sebagai pendukung. Hal yang penting adalah adanya kaidah pertanggungjawaban secara ilmiah pada setiap asumsi, dan pola ini menjadi bentuk edukasi yang menarik bagi masyarakat.
Pemerintah perlu lebih berhati- hati karena sebenarnya cukup sulit mengidentifikasi anomali yang sesungguhnya terjadi di antara kausalitas lini-lini ekonomi yang ada. Selain menggunakan informasi perkembangan inflasi dari BPS, pemerintah bisa menduetkan dengan hasil survei dari BI yang baru saja merilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Kuartal III 2016. IKK memiliki korelasi yang kuat terhadap target inflasi karena di dalamnya memuat ekspektasi dan perkembangan konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Hasilnya cukup mengejutkan, karena banyak hal yang diproyeksikan negatif. Dari segi IKK secara triwulanan, memang masyarakat masih memandang cukup positif dengan adanya kenaikan dari 111,6 poin menjadi 112,5 poin dari triwulan sebelumnya. Namun tren bulanannya justru sedang melemah, dari Juli yang sempat menggeliat (karena disokong momentum Lebaran) kemudian cenderung menurun pada Agustus dan September.
Tren penurunan tersebut disebabkan banyak indikator di dalamnya yang sedang dalam posisi melemah. Indeks Kondisi Ekonomi saat ini (IKE) yang membandingkan kondisi terkini dengan 6 bulan yang lalu sedang melemah 1,2 poin, karena indikator penghasilan dan ketepatan waktu pembelian barang tahan lama pada September sedang menurun. Sementara indikator ketersediaan lapangan kerja justru lebih positif.
Pada Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang meramal kondisi enam bulan mendatang, tren penurunannya lebih tinggi lagi hingga 5,5 poin pada periode September. Indikator ekspektasi penghasilan, ekspektasi ketersediaan lapangan kerja, dan ekspektasi kegiatan usaha semuanya berada pada persepsi negatif.
Kesimpulan sederhananya posisi persepsi konsumen pada September kemarin tidak cukup yakin dengan ekspektasi perbaikan dalam enam bulan ke depan. Survei ini memiliki nilai strategis karena sangat terkait dengan ekspektasi inflasi dan proyeksi pertumbuhan ekonomi, dan seperti yang kita ketahui bersama hingga saat ini konsumsi rumah tangga masih sangat dominan sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Kalau masyarakat sedang ragu dengan kondisi penghasilan dan lapangan pekerjaan, bisa jadi asumsi Menkeu Sri Mulyani terkait dengan deflasi lalu akan menjadi kesimpulan yang paling logis. Sehingga sudah sepatutnya pemerintah ikut was-was jika posisi persepsi daya beli masyarakat (khususnya untuk level konsumsi rumah tangga) sedang dalam kondisi psikologis yang tidak cukup sehat. Karena dampaknya tidak cukup baik terhadap geliat permintaan di sektor riil dan bisa juga menjalar pada kinerja makro ekonomi lainnya.
Potensi Dampak Susulan
Dari sekian asumsi dan fakta yang sudah tersaji, penulis menjadi ikut terpancing untuk menelisik apa yang akan terjadi pada beberapa waktu ke depan, dan bagaimana kebijakan yang perlu disusun pemerintah untuk meredam potensi negatif terhadap konsumsi rumah tangga.
Sebenarnya kalau boleh berkata jujur, sudah ada beberapa pertanda positif yang bisa kita ramu sebagai peluang dan kekuatan baru. Kita lihat saja dampak positif dari program pengampunan pajak (tax amnesty) yang melahirkan beberapa peluang baru, seperti peningkatan kapasitas fiskal dari dana tebusan, serta dana repatriasi yang dapat digunakan untuk pendanaan investasi dalam negeri.
Pemulangan beberapa aset kekayaan WNI dari luar negeri (melalui repatriasi) bahkan mengerek nilai tukar rupiah menjadi lebih kuat dari sebelumnya, dan sementara ini ratarata nilai tukarnya berkisar antara Rp12.900-13.000 per dolar Amerika Serikat. Kabar ini bisa sedikit melegakan bagi pemerintah untuk melanjutkan kebijakan mitigasi berikutnya.
Kalau nilai tukar ini bisa dipertahankan lebih lama atau bahkan terjadi apresiasi lagi, maka akan menyelamatkan kinerja beberapa jenis industri yang bahan baku dan bahan penolongnya banyak menggantungkan dari distribusi luar negeri (impor). Namun hobi ketergantungan terhadap impor ini lebih baik jangan terus dirawat, karena justru nanti nilai tukar rupiah kita akan lagi-lagi melemah.
Jadi pemerintah perlu menyiapkan beberapa permainan cantik lainnya, agar target inflasi, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, serta hasil-hasil terbaru dari tax amnesty pada akhirnya bisa berjalan beriringan. Berikut ini ada beberapa pemikiran menurut penulis dapat dirujuk sebagai rumusan kebijakan: Pertama, penulis menganggap inflasi yang ideal adalah inflasi yang tetap rendah dan terkendali, yang didorong oleh kenaikan ekuilibrium antara supply and demand. Jadi meskipun terjadi lonjakan permintaan barang dan jasa yang cukup tinggi tidak sampai menimbulkan gejolak karena sisi supplynya sudah cukup mapan untuk berswasembada. Kalau yang terjadi sekarang kondisinya masih belum cukup ideal, karena titik ekuilibriumnya berada pada level permintaan yang relatif rendah.
Kemungkinan terburuknya, inflasi yang rendah atau bahkan deflasi malah menyebabkan penyerapan tenaga kerja justru menjadi ”tumbal” di dalamnya, karena perusahaan akan berkilah tidak membutuhkan banyak karyawan untuk memproduksi tingkat permintaan yang saat ini masih relatif rendah. Untuk itu, perlu ada rekayasa kebijakan yang dapat mengarahkan posisi permintaan dan kesiapan distribusinya bisa saling memperkuat.
Kita bisa menggenjot kinerja investasi untuk lebih produktif agar penghasilan masyarakat (pendapatan) menjadi ikut meningkat. Kedua, target kenaikan investasi tidak bisa dijalankan secara instan, karena ada beberapa prasyarat yang cukup tegas di dalam upaya perbaikannya.
Kalau kita berkaca dari laporan tahunan World Economic Forum (WEF, 2016), pemerintah perlu memperbaiki sisi birokrasinya untuk menutup peluang korupsi dan inefisiensi usaha yang diakui menjadi penghambat terbesar daya saing investasi di Indonesia.
Kenyataanya paket deregulasi kebijakan ekonomi yang sudah mencapai 13 jilid belum cukup mengakomodasi kepentingan efisiensi di dalamnya, karena terbukti daya saing kita melorot dari peringkat 37 menjadi 41 dunia. Selain itu kita memiliki masalah lain terhadap kinerja logistik akibat rendahnya kinerja perkembangan infrastruktur.
Masalah prioritas lainnya yang juga perlu segera dituntaskan adalah akses pendanaan, inflasi, dan ketidakstabilan kebijakan. Ketiga, pemerintah bisa mengoneksikan kedua ide di atas dengan proyeksi kebijakan yang terkait dengan hasil penerimaan dari tax amnesty .
Kalangan pengusaha mengaku sangat siap meningkatkan repatriasinya untuk kegiatan investasi domestik jika regulasinya sudah semakin jelas dan memiliki tingkat kepastian yang tinggi (certainty ). Dana repatriasi juga dapat dikembangkan sebagai bagian dari obligasi infrastruktur dan sumber pembiayaan sektor kredit perbankan.
Namun khusus untuk sektor perkreditan, pemerintah harus lebih berhati-hati karena kualitas perkreditan kita sedang bermasalah, yang ditandai dengan tingginya tingkat Non Performing Loan (NPL) sebagai indikator kredit macet perbankan. Sektor usaha yang tengah bermasalah bisa ditangguhkan penyaluran kreditnya untuk sementara ini agar tidak menimbulkan dampak sistemik yang lebih buruk.
Lebih baik kredit diarahkan untuk menunjang beberapa sektor usaha yang prospeknya sedang bagus, misal terhadap UMKM atau sektor properti yang mendapat angin segar dari paket kebijakan ekonomi yang terakhir dirilis kemarin. Pada akhirnya persoalan inflasi bisa menjadi isu sensitif jika pemerintah tidak cukup tangguh dalam proses pengendaliannya.
Angka-angka di dalamnya bisa berpengaruh terhadap kinerja konsumsi dan investasi dalam negeri. Kita boleh saja berbangga dengan capaian inflasi yang bertahan pada level yang sangat rendah, namun jangan sampai di balik itu semua justru menimbulkan persoalan- persoalan lain ibarat seperti api di dalam sekam.
Kita juga berharap budaya kreativitas sudut pandang yang beragam seperti yang terjadi sekarang ini tetap bisa dipertahankan (dalam arti positif), karena bisa mendorong analisis kebijakan yang lebih komprehensif. Dengan sinergitas yang mumpuni, kita akan lebih mudah mengidentifikasi apa saja sumbersumber permasalahan yang sedang terjadi.
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya