Kalau kita berbicara mengenaiperanpemerintah, rasa-rasanya kita akan sulit berkompromi bagaimana menemukan titik ujungnya.

Peran pemerintah di era ekonomi modern akan mengalir mengikuti dinamika hubungan kelembagaan, meskipun ujung muaranya tetap tertuju pada upaya mewujudkan visi kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam perspektif di Indonesia, peran pemerintah masih sangat vital dalam penciptaan iklim sosial yang kuat. Indikator- indikator yang lazim digunakanbiasanya takjauh-jauhdari ukuran kemiskinan, ketimpangan, dan kesempatan kerja.
Proses modernisasi ekonomi yang semakin menjurus pada arah liberalisasi juga menyertakan konsekuensi yang cukup berat bagi pemerintah, apalagi Indonesia termasuk negara dengan karakter sektor swasta yang bersifat elastis terhadap perkembangan situasi politik dalam dan luar negeri. Kalau pemerintah tidak jeli, yang patut dikhawatirkan adalah tendensi pembangunan dari lingkungan kebijakan ekonomi tidak akan mampu memberikan banyak dukungan berarti.

Hingga kini daya dukung pemerintah dipandang sangat terbatas karena kantong keuangannya masih cenderung kembang- kempis. Padahal, tuntutan untuk mengakselerasi perekonomian semakin hari semakin besar. Salah satu penyebab terbesarnya lantaran sistem kita yang masih dikungkungi sebuah ”lingkaran setan” perekonomian.

Katakanlah misalnya sumber masalah pembangunan terletak pada posisi kas negara yang kurang mumpuni, itu semua terjadi karena kondisi penerimaan negara (terutama dari pajak) yang tidak mampu dioptimalkan. Selain disebabkan adanya moral hazard yang terselubung di antara hubungan negara dan rakyat (dengan indikasi tingkat tax avoidance dan tax evasion yang tinggi), kurang optimalnya penerimaan negara juga disebabkan kinerja sektor swasta (sebagai objek pajak) yang cenderung ”amburadul” dalam beberapa dekade terakhir.

Swasta mengaku sulit menampakkan taringnya karena faktor-faktor penunjang daya saing seperti pengembangan sumber daya manusia (SDM), lingkungan regulasi, ketersediaan input yang murah, serta kualitas infrastruktur yang rendah dan kurang merata. Ini membuat tingkat efisiensi usaha relatif sulit bersaing jika dibandingkan dengan produsenprodusen di negara lain.

Nah, dari sinilah muncul pandangan, campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan untuk memengaruhi daya saing pengusaha di Indonesia, khususnya melalui kebijakan regulasi, pengembangan SDM, dan penyediaan infrastruktur yang berkualitas. Itu semua dapat dipenuhi andai kapasitas fiskal dan SDM pengelola kebijakan kita dapat memenuhi standarstandar yang dibutuhkan. Kenyataannya, kinerja penganggaran dan proses birokrasi perekonomian masih berada pada fondasi yang belum terlalu kuat untuk menghadapi era persaingan global.

Indikasinya cukup kentara dari hasil indeks daya saing global (global competitiveness index) yang melemah empat tingkat dari peringkat 37 menjadi 41 dunia (World Economic Forum, 2016), meskipun dari sisi indeks kemudahan bisnis (easy doing business) sudah banyak mengalami perbaikan dengan peningkatan peringkat dari 106 menjadi 91 dunia (Bank Dunia, 2016). Hal ini menandakan proses pengembangan usaha belum banyak mengalami perbaikan substansial untuk mengimbangi kemajuan di Negara-negara lain.

Akhir-akhir ini perekonomian kita mulai menunjukkan tradisi kerentanan yang cukup hebat terhadap kondisi perekonomian global. Bank Indonesia (BI) mencatat dalam sepekan terakhir dana asing yang keluar (capital outflow) dari Indonesia mencapai Rp16 triliun.

Nilai tukar rupiah bahkan terdorong melemah hingga sempat mencapai Rp13.800 per dolar Amerika Serikat. Pelemahan nilai tukar ini bisa menjadi musibah bagi produsen domestik yang ketersediaan bahan bakunya sangat tergantung pada distribusi luar negeri (impor). Kalau pemerintah tidak segera menindaklanjuti secara tepat, daya saing investasi kita akan menjadi semakin rendah. Apalagi terdapat banyak ketimpangan dari sisi aktivitas teknologi, efisiensi pasar tenaga kerja, dan daya dukung infrastruktur yang membuat rumput negara tetangga kita tampak lebih hijau dibandingkan Indonesia.

Legitimasi Strategi Pembiayaan Inklusif

Proses akselerasi perekonomian membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk mencukupi total pembiayaan pembangunan. Sebagai contoh, Menteri Perhubungan (2016) mengisyaratkan kebutuhan investasi untuk infrastruktur transportasi dalam jangka waktu 2015- 2019 menyedot total anggaran hingga Rp1.600 triliun.

Dari total biaya tersebut, yang mampu disediakan oleh APBN diperkirakan hanya Rp450 triliun. Kalau dalam proses pembiayaannya masih menggunakan pola tradisional dengan peran pemerintah yang superdominan, kemungkinan terburuknya bisa terjadi pada dua hal, yakni pemerintah akan menutup kekurangan dengan memperbesar utang; atau rencana proyek pembangunan akan terancam terbengkalai karena kekurangan biaya. Masalahnya, kalau sampai proyek ini mangkrak, kita akan semakin sulit mengendurkan indikasi high cost economy akibat biaya transportasi yang sudah telanjur membubung tinggi.

Neraca APBN untuk sementara ini memang sangat sulit diandalkan untuk menjadi satusatunya ladang pembiayaan. Total pendapatan negara belum bergerak secara progresif karena masih bergelut dengan beragam persoalan tradisional. Hingga akhir Oktober 2016, Ditjen Pajak melaporkan total penerimaan negara dari pajak baru terealisasi sebesar 64,27%. Pemerintah bahkan masih cukup pesimistis akumulasi total penerimaan pajakdiakhirtahunakanmampu mendekati target APBN-P 2016, Rp1.355,2 triliun.

Perusahaanperusahaan plat merah (BUMN) yang diharapkan ikut menopang penerimaan negara dari pembagian dividen, pada kenyataannya masih jauh dari harapan semula. Mayoritas BUMN justru bermasalah pada pengelolaan aset dan struktur bisnis yang kurang efisien sehingga labanya tidak dapat dioptimalkan. Rata-rata kontribusi laba BUMN terhadap total penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam kurun 2011- 2015 hanya mencapai 10,33%.

Level pertumbuhan laba yang disetorkan ke APBN rata-rata dalam lima tahun terakhir hanya berkisar 5,03% (Kemenkeu, 2016, diolah). Dengan kondisi sepertiinibanyakpihakyangikut mengkritik mengenai ”keganjilan” pengelolaan BUMN. Hampir setiap tahun banyak BUMN yang membutuhkan penyertaan modal dari negara, namun hasilnya tetap stagnan dan justru cenderung kurang menggembirakan. Karena itu, strategi pembiayaan alternatif harus betul-betul dikawal agar dapat melibatkan unsur swasta (beserta BUMN) di dalam proses operasinya.

Target paling menarik tentu yang terkait dengan pembiayaan infrastruktur yang nilai ekonomisnya lebih mudah terukur. Pemerintah dapat menjalankan dengan berbagai macam opsi dan pada umumnya mekanisme yang paling sering digunakan ialah jenis kerja sama pemerintah- swasta (KPS), kerja sama pemerintah-badan usaha (KPBU), serta model build, operateand transfer (BOT). Pemerintah dapat memilah atau bahkan mengelaborasi inti-inti dari model kerja sama tersebut.

Kalau kita rujuk publikasi dari OrganizationforEconomicCo- operation Development atau OECD (Kompas, 2012; dalam Tambunan, 2016) mengenai pembangunan inklusif, kita dapat menyadur beberapa hal mendasar yang dapat dikaitkan dengan isu pengembangan pembiayaan inklusif. Sedikitnya empat hal harus dipersiapkan sejak dini yang meliputi unsur reformasi struktural, sosial, penghijauan, dan kelembagaan.

Reformasi struktural dikaitkan dengan unsur formal seperti insentif pajak, proses birokrasi yang efisien, fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan kualitas SDM. Reformasi sosial berkaitan dengan reformasi agraria yang kerap menjadi masalah besar dalam pembebasan lahan. Kemudian dari sisi reformasi penghijauan mencakup undang- undang penghijauan, serta isu pemberdayaan dan pencegahan kerusakan lingkungan.

Terakhir terkait dengan reformasi kelembagaan, lebih menekankan pada sinergi antarinstansi yang dapat mempermanis buah pembangunan. Selain itu, reformasi kelembagaan perlu juga menyinggung upaya penyegaran iklim kompetisi (pada tahap bidding) bagi pihak yang ingin berinvestasi agar menciptakan efisiensi pasar menjadi lebih menjanjikan. Kita bisa banyak belajar dari proses legitimasi proyek kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dalam pengadaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan di Jawa Timur yang menghasilkan dana investasi gabungan yang nilainya mencapai di atas Rp2 triliun.

Proyek ini sempat mangkrak selama 43 tahun sebelum diambil alih Pemprov Jawa Timur hingga saat ini. Dalam proses kelembagaannya, pemerintah (terutama Pemprov Jawa Timur) sangat welcome dengan membuka berbagai insentif yang menunjang kelancaran investasi. Pemerintah memberikan viability gap fund (VGP) atau dukungan kelayakan proyek senilai Rp818 miliar yang dapat digunakan sebagai standar penjaminan agar lebih bankable.

Selain menyediakan penjaminanfinansial, pemerintahmenyediakan kemudahan dalam alih fungsi lahan agar proses pembangunan tahap awal tidak memakan banyak biaya dan waktu. Pemprov Jawa Timur menyiasati dengan memberikan izin penempatan pipa di jalan tol dan pengurangan biaya sewa pada jalan tol yang dilalui.

Kementerian Pekerjaan Umum dan PerumahanRakyat (PUPR) turut membantu pembiayaan dan pembangunan pipa dari titik offtake sampai ke distribusi utama. Kementerian PUPR juga membiayai dan membangun instalasi pengelolaan air dari Kali Rejoso dengan kapasitas 300 liter per detik.

Saat ini proyek Umbulan sedang memasuki tahap financial closing dan diharapkan dapat dijadikan role model bagaimana peran antara pemerintah dan sektor swasta yang ideal. Titik tekannya, pola kerja samanya memang harus disusun secara dinamis karena pada setiap proyek pembangunan sering diwarnai berbagai tantangan yang tidak selalu identik.

CANDRA FAJRI ANANDA

Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya