Dari Nota APBN 2017 yang baru saja dirilis, pemerintah mematok target anggaran belanja Rp2.080,5 triliun. Total kebutuhan belanja itu akan dibayar melalui penerimaan negara yang diproyeksikan Rp1.748,9 triliun, dengan rincian dari penerimaan pajak Rp1.498,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp250 triliun.
Secara tersirat pemerintah menyisakan “ruang hampa” berupa defisit anggaran yang diasumsikan Rp330,2 triliun. Kalau dirasiokan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia, defisit diasumsikan 2,41%. Angka inimasih sangat berpotensi untuk terus meningkat jika melihat tren realisasi penerimaan negara (terutama dari pajak) pada tahun sebelum-sebelumnya yang nyaris selalu di bawah angka target.
Apalagi tahun 2015 yang merupakan tahun kerja pertama bagi Presiden Joko Widodo, persentase realisasi penerimaan pajak menjadi yang terendah sejak tahun 1990 dengan realisasi sebesar 82%. Kinerja penerimaan tahun ini pun sama halnya dengan tahun sebelumnya, tingkat probabilitasnya masih diselimuti keraguan tingkat tinggi meskipun sudah disokong dengan program tax amnesty. Pemerintah perlu memeras otak lebih keras untuk memenuhi proyeksi kekurangan anggaran.
Kalau tetap mengandalkan penerimaan pajak, sementara ini kita sudah terjebak banyak masalah yang membuat upaya optimalisasinya terus terhambat. Yang paling menonjol tentu soal kepatuhan wajib pajak yang menyebabkan tax ratio kita selalu relatif rendah terhadap potensi penerimaan.
Momentum tax amnesty kemarin memang menjanjikan adanya reformasi radikal terhadap administrasi perpajakan, namun sampai sekarang sudah sejauh mana kinerja reformasi yang sudah dijanjikan? Selain persoalan internal, penerimaan dari pajak juga bersifat kausalitas terhadap kondisi perekonomian global, terutama yang terkait dengan komoditas- komoditas ekspor strategis.
Nah, dari sini apakah masih cukup relevan seandainya kita terus memaksa sektor perpajakan menjadi satu-satunya lumbung pembiayaan? Sepertinya tidak demikian. Cara paling “mudah”, mungkin bisa dipenuhi melalui utang bilateral atau multilateral seperti periode-periode terdahulu. Namun pengalaman dari kebijakan ini dampaknya sangat riskan dengan risiko-risiko politiknya, antara lain mulai guncangan (polemik) politik dari dalam negeri hingga indikasi “campur tangan” kebijakan dari negara kreditor.
Bahkan kebijakan utang pada akhirnya ikut mengangkangi belanja APBN untuk sesi pelunasan dan pembayaran bunganya di masa mendatang. Kalau tidak salah, Nota APBN 2017 ikut mencantumkan bahwa pemerintah harus membayar bunga dari utang periode sebelumnya senilai Rp221,2 triliun.
Rasionya sangat tinggi terhadap proyeksi belanja APBN 2017, sedikitnya menyerap lebih dari 10% terhadap total anggaran belanja. Kalau sudah demikian, alangkah lebih baiknya jika utang luar negeri kita jadikan opsi yang paling buncit. Kita bisa membandingkan rasio cost and benefit- nya misal dengan strategi Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS) atau sering disebut pula sebagai Public-Private Partnership (PPP).
Satu kata kuncinya: rangkul swasta dalam pembiayaan pembangunan! Jika sektor swasta mampu digandeng dalam pembiayaan pembangunan, setidaknya pemerintah akan menumbuhkan peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dalam dokumen RPJMN 2015-2019 setidaknya pemerintah membutuhkan dana investasi untuk infrastruktur saja sebesar Rp5.619 triliun, sedangkan kapasitas APBN 2017 sementara hanya diproyeksikan sekitar Rp387,3 triliun.
Pemerintah akan sangat diuntungkan dengan adanya pengalihan anggaran dari misal sebelumnya untuk infrastruktur digeser pada sektor-sektor prioritas lainnya yang sama-sama memihak pembangunan inklusif. Bank Dunia (2016) mengapresiasi kinerja fiskal pemerintah yang menjadi lebih tangguh berkat hasil tax amnesty tahap I kemarin yang realisasi dana tebusannya mencapai 56,6% dari target.
Perbaikan tata kelola fiskal, kebijakan publik yang lebih kuat, serta reformasi struktural di beberapa sektor strategis telah mendorong indikator kesejahteraan masyarakat semakin membaik. Pada periode perhitungan pertama di 2016, tingkat kemiskinan turun sebesar 0,4% dan menjadi rekor penurunan terbaik dalam tiga tahun terakhir (year to year).
Tingkat ketimpangan yang diukur dari koefisien gini juga semakin membaik dengan penurunan 0,011 poin dari 0,408 di Maret 2015 menjadi 0,397 di Maret 2016,dan September 2015 kemarin indeks gini rasio kita sempat tertambat di angka 0,402 poin. Perubahan ini merupakan penurunan tahunan tertinggi sejak krisis keuangan mendera Asia pada periode 1997-1998 silam.
Kementerian Keuangan berencana akan menggelar kegiatan bertajuk International Forum on Economic Development and Public Policy pada tanggal 8-9 Desember 2016 di Bali, untuk menuntaskan rencana- rencana aksi berkaitan dengan investasi sektor publik dan swasta. Tema besarnya akan membahas “Unlocking Public and Private Investment: Role of Financial Sector“.
Nah , harapannya nanti para kepala daerah dan/atau Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) bisa mengikuti forum dua arah ini untuk mendapat gambaran yang lebih komplit dan menyampaikan pengalaman menariknya seputar kerja sama investasi dengan sektor swasta.
Penulis ingin menitipkan beberapa tantangan pada topik yang sama tema kegiatan tersebut yang sedianya harus mampu dikelola pemerintah. Sementara ini kita batasi dalam perspektif pembangunan infrastruktur agar analoginya lebih terfokus.
Pertama, sudah cukup jelas bahwa harus ada penyajian hitung-hitungan ekonomi dan rantai aksi yang kredibel, realistis, dan profitable untuk proyek- proyek yang dapat dijadikan sasaran KPS.
Biasanya proyek KPS yang paling diminati adalah jalan tol dan penyediaan energi listrik. Pemerintah perlu menyusun katalog rincian-rincian proyek yang akan ditawarkan. Isi di dalam katalog tersebut minimal memuat tahapan dan fungsi proyek, nilai anggaran dan mekanisme pembayaran, durasi dan jenis kontrak, mekanisme pengelolaan (hak guna, bagi hasil, dan sebagainya), serta proses penjaminan pembangunan proyek. Sebenarnya hampir semua substansi yang penulis sebutkan sudah dilakukan pemerintah. Nah, yang perlu difokuskan berikutnya adalah bagaimana agar desain kelembagaannya bisa lebih efektif dan efisien.
Kedua, perlu ada perekayasaan ulang terhadap iklim birokrasi agar lebih kondusif dan meningkatkan daya tawar KPS.
Isu restrukturisasi besar-besar melalui paket-paket deregulasi kebijakan ekonomi dalam setahun terakhir mampu mendongkrak Indeks Doing Business Indonesia (versi Bank Dunia, 2016) dari sebelumnya peringkat 106 dunia merangkak naik menjadi peringkat 91 dunia. Namun dalam praktiknya proses birokrasi masih dipandang belum cukup efisien, setidaknya berdasarkan pada laporan World Economic Forum (2016) dan International Institute for Management Development (2016) yang masing-masing membahas penurunan daya saing Indonesia.
Kendala terbesar menurut kedua lembaga asing tersebut terletak pada efisiensi pemerintahan, efisiensi usaha, dan pengembangan infrastruktur. Simpulan sederhananya, meskipun iklim birokrasi sudah banyak dipercantik, namun dari sisi kesehatannya belum mampu dijaga secara utuh. Selama persepsi masyarakat terhadap sistem birokrasi pemerintah (yang diindikasikan pada korupsi dan pungutan liar) masih tetap negatif, penulis rasa KPS akan tetap jalan di tempat.
Ketiga, ada risiko-risiko kronis yang hampir selalu menggelayuti bahkan sejak proses pembangunan masih di tahap permulaan.
Kalau dari segi penjaminan pembiayaan, pemerintah sudah mendirikan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) untuk meningkatkan kelayakan dan standar penjaminan agar lebih bankable. Yang paling sering dibahas biasanya terkait dengan beban pembebasan lahan yang banyak menyita anggaran dan waktu pengerjaan. Informasi rencana pembangunan biasanya diikuti dengan pertumbuhan spekulan-spekulan yang hendak “main-main” soal harga tebusan properti.
Belum lagi dengan risiko keamanan dan asumsi ketika pengguna jasa infrastruktur di bawah ekspektasi yang sering alpha dalam dokumen perencanaan. Transformasi struktur lapangan pekerjaan (akibat pertumbuhan investasi sektorsektor baru) juga perlu dianalisis, karena biasanya akan mengubah wajah sosial ekonomi daerah dari semula sektor primer kemudian mengarah menjadi sektor sekunder dan/atau tersier. Jadi, pemerintah dan sektor swasta harus menyiapkan tenaga pendamping (konsultan/tenaga ahli) yang mumpuni untuk menanggulangi segala situasi along the way.
Keempat, perlu juga disusun proses tender(bidding ) yang lebih kompetitif.
Salah satu argumen yang semakin menjustifikasi ide optimalisasi KPS adalah rekomendasi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yang menginginkan sektor swasta perlu diberi ruang yang lebih besar dalam proses bidding. Dengan masuknya sektor swasta, iklim kompetisi untuk memburu sistem investasi proyek yang lebih efisien akan lebih terasa hebat.
Tentunya perlu diikuti dengan pengawasan yang lebih kuat selama proses bidding, agar tidak menjurus pada pola persaingan tidak sehat (unfair) yang dapat mendorong kolusi dan perburuan rente.
Kelima, jangan lupakan unsur cost recovery dan regulasi harga yang dapat menimbulkan dampak paralel terhadap kinerja investasi.
Cost recovery umumnya digunakan untuk pemulihan lingkungan hidup serta sarana dan prasarana yang kualitasnya menurun akibat proses pembangunan.Selama ini beban cost recovery jarang diulas karena dengan desain kontrak yang ada saja (tanpa item cost recovery ), para investor sudah sulit menghitung besar keuntungan secara rigid.
Namun kalau beban cost recovery tidak ada yang menanggung, maka yang paling menderita tentu masyarakat di sekitar area pembangunan. Selain itu juga diperlukan regulasi harga jasa penggunaan infrastruktur yang pas dengan menentukan harga dasar dan harga plafon demi perlindungan konsumen dan produsen.
Berapapun harga yang dipatok harus tetap terjangkau konsumen, dan pihak swasta selaku operator tetap mendapat keuntungan. Kita sudah cukup lama menunggu gebrakan-gebrakan untuk program KPS benar-benarbisa direalisasikan. Dua hal utama yang menurut penulis membuat kinerja KPS menjadi cenderung biasa-biasa saja karena faktor regulasi dan mitigasi risiko yang kurang mumpuni. Masalahnya sektor swasta masih cenderung profit oriented.
Oleh karena itu, ada baiknya juga jika dibangun pendekatan modal sosial yang komplit agar hubungan antara pemerintah dengan swasta bisa lebih gayeng. Jadi proses kemitraan ini sebetulnya dapat dibangun bahkan sejak sebelum proses perancangan kebijakan telah ditetapkan sebagai strategi pengembangan KPS.
Paling tidak, pemerintah dan swasta dapat saling “curhat” mengenai potensi keuntungan dan hambatan yang dihadapi masing-masing pihak untuk mencari jalan keluar bersama.Sehingga tidak sulit mencari jalan tengah agar bagaimana antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat umum lainnya dapat menikmati hasil-hasil pembangunan di Indonesia secara sekaligus.
CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya