Tahap pertama tax amnesty (amnesti pajak) resmi berakhir Jumat lalu (30/9). Kita bisa memberikan aplaus bagi pemerintah yang sudah bekerja keras menyukseskan program ini dengan sepenuh hati.
Menurut penilaian penulis, pemerintah untuk sementara ini sudah layak dianggap sebagai “pemenang kompetisi” berkat hasil gemilang di pertarungan ronde pertama. Dari segi perolehan dana, terdapat lompatan sangat signifikan antara Agustus hingga penutupan di September.
Di dua bulan pertama berjalan, total dana tebusan baru menembus angka Rp7,14 triliun, sedangkan penyertaan harta baru Rp94,56 triliun. Capaian tersebut sempat menerbitkan pesimisme yang begitu kentara. Namun secara seketika masyarakat terhenyak dengan perolehan luar biasa di September.
Pemerintah mampu menghasilkan akumulasi dana tebusan Rp97,2 triliun dan penyertaan harta Rp3.620 triliun. Dana ini terkumpul berkat partisipasi yang luar biasa dari 347.033 peserta dan 14.135 orang di antaranya merupakan wajib pajak baru. Capaian-capaian tersebut membuat pemerintah begitu merasa bungah karena berhasil menjawab cibiran dari kubukubu yang awalnya sempat kontra kebijakan.
Bahkan perolehan diperiode pertama saja sudah melampaui beberapa catatan rekor tax amnesty di kancah dunia. Disarikan dari data Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) tahun2016, dana tebusan yang kita peroleh mampu mengungguli hasil yang dikumpulkan Italia pada tahun 2009 yang “hanya” mencapai Rp59 triliun. Dari sisi penyertaan harta, lagilagi kita berhasil mengungguli Italia yang pada tahun itu mengumpulkan Rp1.179 triliun.
Jika diperbandingkan dengan menggunakan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) di negara masing-masing, kita masih beruntung karena perolehan sementara ini juga termasuk yang tertinggi di dunia. Rasio dana tebusan terhadap PDB Indonesia sementara ini berada di kisaran 0,77%, mengungguli Cile (tahun 2015) yang berhasil mencapai 0,62%. Adapun rasio penyertaan harta lebih dari 20% PDB, di atas Italia yang rasionya sedikit di atas angka 10%.
Perolehan ini akan terus berkembang karena kita masih menyisakan dua ronde lanjutan tax amnesty yang berlangsung Oktober 2016 hingga akhir Maret 2017. Di balik semua kesuksesan tersebut, banyak pernik drama yang sudah menghias sejak wacana tax amnesty digulirkan pemerintah. Cerita ini dimulai dari drama kubu pro-kontra kebijakan yang memperdebatkan antara asumsi manfaat dan dampak negatif tax amnesty.
Kubu yang pro umumnya menyadari kepentingan utama dari tax amnesty adalah untuk peningkatan pendapatan negara, mereformasi sistem perpajakan, serta memulangkan (merepatriasi) aset-aset kekayaan milik WNI yang tersebar di berbagai penjuru negara. Momentum megaskandal Panama Papers memiliki andil yang cukup kuat untuk mendukung argumen dari kubu yang pro.
Sementara kubu yang kontra pada umumnya menyampaikan pandangan tentang keadilan psikologis antara mereka (wajib pajak) yang selama ini relatif disiplin dalam memenuhi kewajiban pajaknya dengan mereka yang terlibat dalam kejahatan tax avoidance dan tax evasion. Pro-kontra mengenai tax amnesty juga sempat merembet pada isu kebijakan hukum.
Publik sempat khawatir perihal keamanan dan penyalahgunaan wewenang bahwa data yang dilaporkan pemohon pengampunan pajak akan dijadikan alat untuk meringkus beberapa pelaku kriminal (termasuk indikasi hasil korupsi). Pemerintah sudah berjanji untuk intens berkoordinasi dengan para penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, BPK, KPK, dan PPATK) terkait dengan beberapa poin utama dalam program tax amnesty.
Wajib pajak yang selama ini menyembunyikan sebagian hartanya di dalam maupun di luar negeri akan dibebaskan dari ancaman hukum jika bersedia mengikuti program tax amnesty. Namun kebijakan ini memiliki pengecualian terhadap pelaku yang sedang diperiksa dan terbukti melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku seperti tindak pidana korupsi.
Rentetan drama sempat kembali menemukan topik hangat ketika Presiden Joko Widodo sukses “merepatriasi” Sri Mulyani Indrawati dari posisi managing director Bank Dunia (World Bank) untuk kembali menempati jabatan strategis sebagai menteri keuangan (menkeu).
Keluwesan, kecerdasan, ketegasan, dan keberanian Menkeu dalam menghadapi segala tantangan menjadi titik balik kiprah kesuksesan realisasi program tax amnesty. Pada saat muncul gugatan hukum, Menkeu berani pasang badan dan mendatangi kelompok-kelompok yang berbeda pandangan.
Bahkan Menkeu rela dipasang sebagai “bank garansi” saat beberapa kali mendampingi Presiden Joko Widodo dalam agenda sosialisasi program, termasuk pada saat pertemuan di Singapura yang disinyalir akan menjadi wilayah perburuan utama di luar Indonesia. Menkeu mampu mempertebal kepercayaan para wajib pajak terhadap pemerintah karena artikulasi kebijakan yang telah dan akan dikerjakan dianggap menjadi lebih jelas dan terarah.
Skenario Berikutnya
Setelah keberhasilan dari penyelenggaraan tahap pertama, pemerintah tidak lantas bisa berleha-leha menghadapi setiap potensi kejutan selama program tax amnesty terus bergulir. Apalagi masih ada beberapa celah yang membuat beberapa indikator kinerja menjadi kurang optimal.
Berikut ini ada beberapa catatan kecil yang bisa penulis berikan. Pertama, realisasi dana repatriasi masih relatif kecil. Untuk tahap pertama kemarin, dana repatriasi yang terkumpul baru mencapai Rp137 triliun (13,7% dari target Rp1.000 triliun). Perolehan dana repatriasi dapat menggambarkan tingkat keyakinan publik terhadap kinerja investasi yang dikelola pemerintah.
Aturan repatriasi dalam UU Pengampunan Pajak memiliki konsekuensi yang begitu mengikat antara wajib pajak dengan pemerintah. Kebijakan repatriasi bisa dibilang hampir setara dengan penerbitan obligasi. Tugas pemerintah untuk menarik repatriasi yang lebih besar tentu harus dibayar dengan penyusunan portofolio investasi yang meyakinkan serta menguntungkan secara ekonomi.
Para wajib pajak dengan latar belakang sebagai pengusaha akan memiliki perhitungan yang cukup matang tentang peluang dan keamanan dana investasinya sehingga tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain memperbaiki indikatorindikator kinerja investasi agar menjadi pertimbangan yang kuat bagi wajib pajak untuk bersedia melakukan repatriasi.
Kedua, kontribusi penyertaan harta dari luar negeri dan partisipasi UMKM juga masih terhitung relatif minimalis. Hal ini bisa saja disebabkan hambatan administrasi dan factor sosialisasi yang kurang menyeluruh.
Penulis sempat mendapat beberapa informasi bahwa pengurusan administrasi pelaporan pajak di luar negeri kurang didukung dengan infrastruktur yang memadai, misalnya prasyarat penggunaan meterai yang sulit didapatkan di beberapa negara serta jasa konsultasi yang sangat terbatas di luar negeri. Kondisi serupa sangat mungkin juga dirasakan pengusaha UMKM. Minimnya sosialisasi yang menyentuh secara langsung UMKM bisa memengaruhi wawasan dan minat mereka untuk berpartisipasi.
Pemerintah bisa menggandeng instansi terkait semisal SKPD yang berwenang di bidang UMKM atau bahkan pemerintah desa yang memegang database UMKM untuk terlibat dalam sosialisasi prosedur dan tujuan tax amnesty. UMKM perlu mendapat informasi dan pembinaan yang komprehensif, termasuk di dalamnya bagaimana dampak kebijakan ini terhadap kinerja usaha yang mereka jalani.
Ketiga, perlu ada regulasi yang harmonis di level lokal/daerah untuk meningkatkan efisiensi investasi serta mengeksekusi percepatan infrastruktur. Kita sudah menerima 13 Paket Kebijakan Ekonomi yang tujuan awalnya untuk mengakselerasi investasi agar lebih bergairah.
Namun kenyataannya tidak berjalan mulus semenjak dirilis satu tahun lalu. BPS menilai rangkaian paket tersebut sepertinya memang diarahkan pada industri besar dan hasilnya ternyata tidak begitu positif. Seharusnya yang menjadi fokus adalah sektor UMKM yang jumlahnya jauh lebih banyak dalam struktur usaha domestik.
Indikasi lainnya muncul dari tingginya nonperforming loan (NPL) kredit perbankan dan terjadinya deflasi 0,02% pada Agustus yang dapat menggambarkan lesunya kinerja sektor riil di Indonesia. Bahkan yang terbaru, indeks daya saing global Indonesia (Global Competitiveness Index) tahun 2016-2017 lagi-lagi mengalami pelemahan, terutama disebabkan indikator biaya logistik dan persepsi korupsi menjadi faktor yang paling berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi di dalam negeri.
Keempat, tax amnesty sudah membawa berkah positif berupa peningkatan kepatuhan dan perluasan jumlah objek pajak. Tindak lanjut bagi pemerintah berikutnya ialah bagaimana agar sisi perbaikan administrasi perpajakan dan penegakan hukum di dalamnya dapat terus diperkuat.
Pemerintah perlu terus menggiatkan kebijakan mitigasi yang bisamenekanadanya taxavoidance, misalnya dengan mengembangkan infrastruktur layanan perpajakan agar prosedur pembayaran menjadi lebih sederhana, transparan, dan berbiaya rendah. Selain itu perlu didukung modal sosial yang lebih kuat antara pemerintah dan masyarakat karena sudah terbukti faktor trust mampu meningkatkan antusiasme public untuk melakukan pembayaran pajak.
Jangan sampai persepsi korupsi yang begitu mengakar hebat di bumi pertiwi ini lagi-lagi akan kembali memukul mundur upaya penyempurnaan reformasi sistem perpajakan di Indonesia yang mulai tampak perkembangannya.
Setiap wajib pajak tentu menginginkan sumbangsihnya terhadap negara (melalui pajak) mampu menghasilkan kinerja makroekonomi yang lebih baik dan sebagai balasannya sudah seharusnya negara mampu menyusun rencana program dan anggaran kebijakan yang lebih efektif dan kredibel.
Penulis berharap setelah ini pemerintah bisa lebih andal dan bijaksana dalam manajemen pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara, khususnya untuk penetapan target penerimaan dan penyusunan program yang tampak begitu jelas membutuhkan banyak evaluasi perbaikan.
Kesalahan-kesalahan sebelumnya yang sering menimbulkan kegaduhan harus diminimalkan agar kinerja pembangunan justru tidak banyak terganggu oleh aspek-aspek politis.
CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya