Hampir 1,5 bulan program amnesti pajak diberlakukan. Headline berbagai media nyaris tak pernah melewatkan setiap momen mengenai tax amnesty.

Perhatian terhadap tax amnesty beralasan karena nasib APBN tahun ini dan reformasi pajak salah satunya tergantung pada kesuksesan tax amnesty. Jika program ini meleset, defisit APBN terancam membengkak. Disamping target tambahan penerimaan pajak yang signifikan, target lain tax amnesty adalah tax reform yang di dalamnya perbaikan dan penguatan sistem perpajakan di Indonesia mampu memperkuat basis pajak, memperbaiki kepercayaan masyarakat serta mengurangi perilaku tax avoidance dan tax evasion.
Posisi sektor perpajakan ibarat jantung kehidupan bagi pembangunan Indonesia karena mayoritas anggaran belanja pemerintah (70-80%) setiap tahunnya dibiayai dari penerimaan pajak. Jika tidak ada perbaikan signifikan, untuk sementara ini jangan terlalu berharap kemandirian ekonomi yang kita idamkan akan terwujud di masa yang akan datang. Beberapa cara sudah dilakukan pemerintah untuk menyukseskan program tax amnesty.

Tidak hanya para penggawa perpajakan di lingkungan Kementerian Keuangan, bahkan Presiden turut tampil menyosialisasikan kebijakan krusial ini. Kegiatan ini dilakukan tidak hanya di dalam negeri. Di beberapa negara pemerintah sudah melakukan intensifikasi agar prosedur dan nilai strategis kebijakan ini tersampaikan hingga ke wajib pajak.

Menteri Keuangan turun tangan langsung bersosialisasi dan mengerahkan Ditjen Pajak untuk memfasilitasi layanan perpajakan di Singapura yang disinyalir menjadi suaka terbesar bagi pelaku tax avoidance asal Indonesia. Kebijakan ini semacam strategi tandingan bagi Singapura yang menjanjikan akan membayar tebusan pajak bagi WNI yang bersedia hanya mendeklarasikan aset pajaknya, tetapi tidak membawa pulang asetnya.

Sementara Pemerintah Indonesia sangat berkeinginan dapat merepatriasi aset-aset WNI yang masih tertampung di berbagai negara, termasuk di Singapura. Otomatis tarik ulur kepentingan di antara kedua negara akan menjadi bumbu penyedap tax amnesty karena keduanya samasama membutuhkan dana besar untuk menjaga sirkulasi perekonomian tetap positif.

Di dalam negeri, bank-bank persepsi yang ditunjuk untuk menampung dana tax amnesty juga ikut gencar memfasilitasi para wajib pajak yang hendak membayar uang tebusan serta merepatriasi/mendeklarasikan aset-asetnya. Gerakan bersama ini menarik untuk terus kita simak dan melihat bagaimana respons wajib pajak dalam menanggapi strategi pemerintah ini.

Meski terjadi perubahan tampuk kekuasaan di tubuh Kementerian Keuangan selepas reshuffle kabinet jilid II kemarin, hingga saat ini belum ada tandatanda perubahan target penerimaan dari program tax amnesty. Menteri Keuangan masih sangat optimistis target sebesar Rp165 triliun merupakan angka yang sangat realistis. Deklarasi aset wajib pajak yang ditargetkan dalam rangka tax amnesty pun cukup bombastis, mencapai Rp11.000 triliun.

Ada-pun dana repatriasi diharapkan mampu mencapai Rp4.000 triliun selama masa aktif program ini. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak, sejak kebijakan ini dibuka pada 19 Juli hingga 13 Agustus 2016, laporan nilai harta dari 3.629 wajib pajak sudah mencapai Rp 23,81 triliun. Kemudian untuk penerimaan negara yang dihasilkan dari uang tebusan tax amnesty sementara ini baru terkumpul Rp479,04 miliar.

Jika dirasiokan dengan target penerimaan uang tebusan Rp 165 triliun, perolehan sementara ini bisa dianggap masih sangat minimalis karena bahkan belum mencapai 1%. Pemerintah harus jeli mengamati perkembangan terkini agar hasil akhirnya tidak terpaut jauh dari target di awal perencanaan.

Pemerintah memberikan gambaran mengenai capaian sementara ini karena masih banyak wajib pajak yang sedang menghitung ulang nilai-nilai asetnya. Kabar lain menunjukkan beberapa kalangan tampak mulai aktif untuk berkonsultasi dan mengisi formulir pengajuan amnesti di beberapa lokasi yang disediakan pemerintah.

Menteri Keuangan berulang kali mengakui telah mempersiapkan petugas pajak berkualitas yang mengerti peraturan, memiliki kemampuan komunikasi yang menawan, punya semangat melayani yang tinggi, serta terhindar dari konflik kepentingan dengan pemegang wajib pajak untuk menjadi palang pintu tax amnesty.

Namun dari capaian penerimaan sementara, tampaknya para wajib pajak yang berniat memanfaatkan pengampunan pajak masih wait and see dengan perkembangan terkini. Kondisi ini bisa karena ”menunggu” teman- temannya sesama calon pengguna amnesti atau bisa juga karena mereka masih sangsi dengan ketegasan pemerintah dalam menjalankan segala konsekuensi hukum yang terkandung dalam UU Pengampunan Pajak.

Dari posisi ini pemerintah jelas tidak cukup hanya berpangku tangan. Perlu ada beberapa langkah yang harus diupayakan agar program ini dapat berjalan optimal. Pertama, langkah sosialisasi seharusnya turut merangkul beberapa elemen penting yang dapat mengakomodasi pemerintah untuk ”masuk” ke dalam jantung (sistem) politik para wajib pajak, terutama dari kalangan wajib pajak kelas kakap.

Misalnya semakin mengedepankan peran forum atau asosiasi pengusaha seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) atau Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), termasuk pada asosiasi UMKM, petani maupun elite masyarakat, sebagai jembatan antara pengusaha dan negara.

Kedua, janji Menteri Keuangan untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas harus benar-benar direspons Ditjen Pajak dari seluruh lapis organisasinya. Pelayanan yang profesional akan meningkatkan kepercayaan para wajib pajak terhadap sistem pengelolaan perpajakan. Yang tidak kalah penting, harus ada progress report yang menjabarkan bagaimana perkembangan ide tax reform.

Proses ini tidak bisa menunggu lebih lama karena triwulan yang pertama ini (Juli-September 2016) diprediksi menjadi masa yang paling krusial karena nilai tebusan yang ditawarkan merupakan angka yang paling rendah bila dibandingkan dengan triwulan berikutnya.

Selain soal SDM perpajakan, beberapa hal yang harus secepatnya direformasi adalah yang berkaitan dengan proses administrasi layanan, basis data perpajakan, serta penegasan kode etik yang dapat menjaga hubungan antara petugas perpajakan dengan para wajib pajak terhindar dari moral hazard. Ketiga, penguatan modal sosialyangada, yaknihubunganantara wajib pajak dan pemerintah harus ditingkatkan, terutama untuk meningkatkan animo repatriasi dan menghilangkan keragu- raguan akan kebijakan ini.

Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 122 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalihan Dana Wajib Pajak ke Dalam Negeri (Repatriasi) serta Penempatan Investasi di Luar Pasar Keuangan seharusnya mampu meyakinkan masyarakat atau wajib pajak bahwa aset dan dana mereka akan aman serta betul-betul digunakan untuk pembiayaan pembangunan di Indonesia.

Dengan demikian langkah pemerintah membangun modal sosial ini memerlukan proses kebijakan yang terbuka, terukur, serta melibatkan sebanyak- banyaknya pihak yang terkait. Di sisi pemerintah, perlu memperkuat bonding, termasuk di dalamnya penguatan organisasi di dalam; keluarnya, pemerintah perlu terus melakukan upaya kerja sama bridging dengan pihak terkait.

Kebijakan tax amnesty ini seharusnya kita kawal penuh dan turut disukseskan untuk meningkatkan kredibilitas pemerintah. Pelajaran penting dari adanya kebijakan ini adalah penyusunan perencanaan anggaran perlu disusun dengan hati- hati dan tidak harus bombastis mengingat dampaknya yang me-repotkan pemerintah sendiri.

Perencanaan anggaran kedepannya juga perlu mendapat banyak evaluasi, khususnya target penerimaan yang lebih realistis serta pengelolaan pengeluaran yang lebih fokus sekaligus mengurangi overlapping antarkementrian dan lembaga.

Dalam kondisi ini, peran lembaga perencana, Bappenas, akan semakin penting, khususnya dalam menetapkan prioritas sektor, wilayah serta pelaku ekonomi (UKMK, BUMN).

CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya