Potensi penguatan kapasitas fiskal tidak hanya terbatas pada level pemerintah pusat, melainkan juga dapat didorong melalui aktivitas politik di level pemerintah daerah (pemda).

Pemikiran ini senada dengan semangat desentralisasi yang diarahkan bergerak secara sentrifugal dengan mengakomodasi peran-peran strategis dari stakeholder di daerah untuk memperkuat pembangunan nasional. Setelah banyak membahas strategi pembiayaan dan penguatan kapasitas fiskal dalam APBN, kali ini penulis akan mengeksplorasi potensi lain dalam lingkup determinasi kebijakan fiskal di daerah. Pemda sangat perlu kita dorong untuk turut menjaga kemandirian fiskalnya agar tidak terlalu terjebak dengan gaya trickle down effects terhadap pemerintah pusat.
Pengalaman di tahun ini yang sempat menyisipkan “tragedi” berupa pemangkasan dana transfer ke daerah setidaknya menyisakan pelajaran penting di dalamnya. Apalagi untuk sementara ini masih banyak daerah yang menggantungkan denyut APBD-nya dari dana perimbangan pemerintah pusat. Kalau tidak segera dikendalikan, kekhawatiran berikutnya ekspansi pembangunan ala pemda bisa jadi ikut terhenti ketika kondisi APBN tengah kolaps.

Selain untuk kepentingan pembangunan daerah, penguatan kemandirian fiskal daerah akan turut memperingan beban belanja pemerintah pusat. Dari nota APBN 2017, total dana transfer ke daerah diproyeksikan mencapai Rp764,9 triliun atau sekitar 36,77% dari total belanja APBN. Untuk saat ini yang paling memungkinkan dapat “diutak-atik” dengan target pengurangan beban transfer adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Transfer Khusus (DTK) yang masing-masing menyerap sekitar Rp410,8 triliun dan Rp173,4 triliun.

Seandainya saja dana ini bisa direduksi, pemerintah pusat tentu akan sangat berterima kasih kepada pemda karena dana tersebut dapat dialihkan untuk mengerjakan program pembangunan lainnya. Pada 2015, hanya DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Papua Barat yang indeks kapasitas fiskalnya dapat dikatakan paling sehat. Sebanyak 9 provinsi lainnya berada pada kategori tinggi, 6 provinsi di kategori sedang, dan 16 provinsi sisanya memiliki kapasitas fiskal yang rendah (Kemenkeu, 2016).

Indeks yang digunakan dalam pemetaan tersebut pada umumnya akan memengaruhi proporsi dana perimbangan, dana hibah, atau pinjaman ke daerah untuk menutupi kekurangan dana pembangunan yang dibutuhkan. Selain mengandalkan dana transfer, strategi yang paling lazim digunakan untuk mendorong kemandirian fiskal daerah biasanyatidakjauh- jauhterpakupada upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Masalahnya memang PAD di sebagian besar daerah sudah telanjur kecil kontribusinya. Kita ambil contoh kondisi fiskal di Jawa Timur.

Dengan latar belakang sebagai provinsi dengan tingkat daya saing terbaik kedua di Indonesia versi Asia Competitiveness Institute (ACI) danLee Kuan Yew School of Public Policy (2016), pada kenyataannya PAD di Jawa Timur tahun 2015 (jika diakumulasi dari pemprov hingga pemkab/ pemkot) hanya mampu menopang 30,35% total pendapatan daerah. Langkah pemerintah untuk mengeksploitasi potensi PAD cukup sulit karena sekitar 63,71% di antaranya dihasilkan dari pajak daerah (Dirjen Perbendaharaan Kanwil Jawa Timur, 2016).

Karakteristik pajak daerah hampir sama dengan pajak yang dikelola pemerintah pusat, tingkat kepatuhannya belum optimal. Kalau dari sisi tarif dinaikkan, risikonya akan berdampak besar terhadap daya beli masyarakat. Untuk itulah perlu di-set ulang beberapa alternatif pembiayaan yang fungsinya meningkatkan kapasitas modal pembangunan bagi pemda. Dalam beberapa diskusi tematik, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai gencar menyosialisasikan potensi pasar modal melalui penerbitan obligasi daerah.

Berdasarkan perhitungan risikonya, ruang pembiayaan yang dapat dimanfaatkan dari obligasi daerah maksimal 0,3% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Danareksa (2016) memperkirakan potensi penerbitan obligasi daerah mencapai Rp28 triliun dalam setahun. Namun sayangnya hingga saat ini belum ada satu pun pemda yang telah memanfaatkannya.

Kalau mengutip penjelasan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, obligasi daerah belum dilirik pemda karena ongkos politik yang dinilai mahal serta diwarnai beragam pro-kontra. Pandangan ini ditambahkan oleh BI (2016) yang menyebutkan bahwa obligasi daerah masih dianggap sebagai warisan utang bagi pemerintah periode berikutnya, padahal ini bukanlah utang individu seorang gubernur atau bupati/wali kota, melainkan utang daerah.

Apalagi daerah belum mempersiapkan sistem kelembagaan yang utuh dan nantinya bertugas mengelola obligasi beserta risiko-risiko di dalamnya (termasuk misalnya ketika bangkrut). Kalau versi OJK (2016), pemda masih relatif berat untuk beradaptasi dengan regulasi pasar modal yang diatur OJK, terutama terkait dengan standar pelaporan dan pemeriksaan keuangan. Danareksa (2016) ikut mengamini pernyataan OJK karena pemda merasa ada extra-cost jika harus “melayani” dua versi laporan keuangan menurut OJK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang memang secara rutin melakukan pemeriksaan.

Padahal, sebetulnya, momentum perencanaan obligasi daerah ini akan semakin mendorong pemda untuk lebih meningkatkan strata good governance- nya. Fungsi good governance yang sebagian besar berlandaskan asas transparan, responsif, kepastian hukum, partisipatif, efektif dan ekonomis, serta dapat dipertanggungjawabkan sangat berguna untuk memperkuat kapasitas modal sosial pemerintah dengan masyarakat.

Kalau konsep ini dapat diimplementasikan, pemerintah akan mendapat berkah berupa kepercayaan publik untuk aktivitas investasi, perpajakan, dan obligasi dalam sekaligus. Nah, masalahnya pemda sendiri belum cukup berinisiatif sehingga sosialisasi untuk penerbitan obligasi daerah tidak banyak diperbincangkan oleh para pemodal potensial. Ke depan, penulis merekomendasikan beragam sudut pandang yang sedianya harus digarap bersama-sama oleh beberapa stakeholder utama. Pertama, pemerintah pusat, BI, dan OJK perlu meluruskan pemahaman pemda mengenai posisi obligasi dalam kerangka fiskal daerah.

Sedikitnya dua hal yang dapat disinggung: (1) manfaat untuk pembangunan daerah dan (2) perihal pembagian risiko. Dana obligasi dapat digunakan untuk membiayai proyek yang memiliki prospek return yang sangat besar seperti pembangunan rumah sakit, gedung sekolah, dan jalan tol. Realisasi obligasi juga dapat mendekatkan daerah dengan efisiensi ekonomi dan kemakmuran. Legatum Institute (2016) sudah mengonfirmasi bahwa kenaikan indeks kemakmuran Indonesia tahun 2016 didorong tiga faktor, yakni pendidikan, layanan pemerintah, dan modal sosial.

Adapun dari sisi risiko, jenis risiko utama yang sangat riskan terjadi mungkin akan berkaitan dengan ketepatan waktu pembayaran bunga dan prinsipal obligasi serta ancaman bangkrut. Kalau kondisinya sudah sedemikian pelik, pemerintah pusat harus siap-siap men-take over risiko-risiko yang gagal ditangani pemda. Menurut UU Pemerintah Daerah, DAU dan DAK memungkinkan untuk dijadikan sebagai buffer untuk melunasi biaya take over secara bertahap.

Oleh karena itu, meskipun obligasi sangat potensial, bukan berarti semua daerah akan bebas mengakses pasar modal. Salah satu langkah mitigasi risikonya, Menteri Keuangan sangat menekankan kesiapan daerah untuk memenuhi debt service coverage ratio (DSCR) atau rasio kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman. Kalau DSCR-nya di bawah batas minimum 2,5, jangan harap pemerintah pusat akan memberikan “restu” penerbitan obligasi daerah.

Selain itu BI dan OJK bisa mengintervensi pelaksanaan obligasi karena terkait dengan inflasi, tingkat suku bunga obligasi, dan sekaligus menyinggung potensi non-performing loan (NPL) atas kegagalan pengembalian modal dari obligasi. Kedua, manajemen pengelolaan keuangan dan aset pemda harus didorong agar lebih clear . Dari sisi penyerapan belanja APBD harus mampu dikelola secara optimal. Pemda DKI Jakarta pernah hampir berhasil menerbitkan obligasi setelah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Keuangan, tetapi urung direalisasi karena besarnya selisih lebih/kurang antara pendapatan dan belanja (silpa) serta dilanjutkan dengan berbagai atraksi politik.

Selain itu pemda harus siap lebih transparan demi mendapat simpati publik. Pemda dirasa perlu mendirikan lembaga yang nantinya fokus dalam pengelolaan obligasi. Ketiga, proses perencanaannya harus mengakomodasi tantangan-tantangan pengembangan obligasi daerah secara tegak. Sedikitnya ada beberapa hal utama seperti susunan regulasi yang clear, manajemen risiko yang terukur, proyeksi pendapatan dan arus kas yang lancar, pengendalian isu lingkungan, mekanisme kelembagaan yang fair dan transparan, serta didukung stabilisasi politik.

Proses komersialisasi juga perlu dilakukan secara atraktif untuk meningkatkan minat pasar. Dan yang terakhir, pemda perlu menyusun dokumen rencana pengembangan obligasi jangka panjang untuk meminimalkan potensi-potensi konflik, terutama saat-saat genting pada masa transisi kepemerintahan. Regulasi penerbitan obligasi daerah mewajibkan daerah yang hendak menerbitkan obligasi harus melewati beberapa tahap politik yang berliku-liku, sejak dari internal pemda, DPRD, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan hingga dilepas di lantai bursa saham melalui OJK.

Investor akan sangat memperhitungkan risiko politik terhadap investasi- investasinya. Dokumen perencanaan ini dapat diintegrasikan dengan dokumen-dokumen perencanaan lainnya agar tidak terjadi tumpang tindih perencanaan dan kebijakan. Karena posisi ideal obligasi daerah adalah berada di bawah cabang perencanaan pembiayaan pemerintah daerah. Ke depan, sangat mungkin realisasi penerbitan obligasi akan menjadi indikator baru kepercayaan publik terhadap kinerja pengelolaan pemerintah.

Di beberapa negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, obligasi lebih diandalkan sebagai modal pembangunan daripada pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri. Obligasi sekaligus menjadi ciri pertanda kecintaan rakyat terhadap pemerintahnya dengan bergotong-royong dalam proses pendanaan pembangunan dan masyarakat juga percaya bahwa setiap sen uang yang diinvestasikan melalui kupon obligasi, cepat atau lambat akan melahirkan benefit yang optimal bagi mereka sendiri.

Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya