Sepekan terakhir, kita menerima dua informasi penting terkait kebijakan ekonomi, yakni persetujuan pembentukan holding BUMN dan pengajuan asumsi makroekonomi dalam RAPBN 2017 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menteri BUMN Rini Soemarno dalam beberapa kesempatan mengungkapkan usulannya untuk membentuk holding BUMN. Sasarannya untuk meningkatkan efisiensi bisnis bagi BUMN dengan adanya penggabungan modal usaha, pemasaran yang terfokus, pembagian wilayah yang proporsional, dan mengurangi persaingan BUMN-BUMN sejenis.
Tak berselang lama dari disetujuinya pembentukan holding BUMN, Presiden Jokowi juga melakukan pidato kenegaraan yang membahas target-target makroekonomi Indonesia pada 2017 di hadapan anggota DPR/MPR.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 akan berada dalam kisaran 5,3% dengan tingkat inflasi 4%. RAPBN 2017 memberikan kesan jika pemerintah lebih arif dalam menyusun target dan asumsi makronya. Pendapatan negara ditargetkan Rp1.736,3 triliun dengan belanja negara sebesar Rp2.070,5 triliun.
Konsekuensinya tentu defisit anggaran yang lebih besar dibanding 2016. Secara umum, RAPBN 2017 ini mengesankan pemerintah lebih konservatif, penuh kehati-hatian, serta realistis untuk menjaga kredibilitas anggaran. Dalam kacamata awam, kedua kebijakan tersebut seolah-olah disusun terpisah. Namun jika kita teliti secara mendalam sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yakni menyelenggarakan pembangunan negara yang lebih berkualitas.
Anggaran belanja pemerintah yang relatif cekak, perlu diimbangi dengan aktivitas nyata BUMN untuk mengambil peran yang lebih besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lapangan kerja.
Dengan demikian, porsi APBN sepatutnya lebih fokus pada aktivitas ekonomi di mana BUMN dan swasta enggan masuk, sedangkan BUMN dan swasta melakukan penetrasi dan akselerasi pada aktivitas ekonomi masyarakat. Rencananya mulai tahun ini hingga 2019, akan dibentuk enam holding BUMN yang dilakukan secara bertahap dengan berbagai urusan yang berbedabeda.
Menteri BUMN memberikan sinyal, pembentukan holding yang direstui Presiden nantinya akan menyasar sektor pertambangan, minyak dan gas bumi (migas), perumahan, jalan tol, jasa keuangan, dan pangan. Ada beberapa agenda strategis yang bisa mendukung mengapa harus membuat holding BUMN dalam upaya mewujudkan kemandirian ekonomi.
Pertama, akan muncul beberapa peluang untuk membuat ekonomi kita lebih menggeliat karena dukungan perbaikan manajemen pengelolaan pada beberapa sektor/komoditas strategis. Misalnya terkait holding BUMN jasa keuangan, dengan proses merger pada beberapa bank BUMN, nilai aset perbankan kita akan mampu lebih bersaing terutama di lingkup ASEAN.
Pada proses merger BUMN migas, juga disinyalir dapat menekan biaya untuk penyediaan migas. Nantinya aset dan modal perusahaan akan semakin besar karena penggabungan, sehingga kemampuan investasi di sektor migas akan ikut membesar. Selain itu, bisa menghindari tumpang tindih investasi pembangunan yang sempat terjadi di beberapa titik. Potensi yang sama juga dapat terjadi di sektor pangan yang akan dikomandoi Bulog.
Holding BUMN pangan diharapkan akan berperan aktif memperbaiki tata produksi, tata niaga, dan menjaga stabilitas harga di sektor pangan yang sering digambarkan sebagai sarang ketidakadilan ekonomi.
Kedua , holding BUMN yang menangani perumahan dan jalan tol akan memberikan angin segar bagi pembangunan infrastruktur. Penanganan perumahan merupakan janji politik Presiden Jokowi untuk menyediakan akses perumahan yang terjangkau, terutama bagi kalangan menengah ke bawah.
Sementara untuk pembangunan jalan tol, kita sama-sama menyadari betapa tinggi urgensi penyediaan jalan tol karena memiliki dampak yang sangat kuat terhadap konektivitas antarwilayah, penurunan biaya logistik, dan peningkatan daya saing nasional.
Keterbatasan anggaran yang dialami pemerintah, memerlukan skema pembiayaan pembangunan yang lebih inovatif, seperti public private partnership . Model pembiayaan ini sudah dijalankan untuk proyek Air Bersih Umbulan di Pasuruan, Jawa Timur; dan seandainya berjalan mulus, diharapkan model pembiayaan seperti ini dapat dijalankan di proyek infrastruktur lainnya di Tanah Air.
Ketiga, jika janji Menteri BUMN untuk menghapus dana Penyertaan Modal Negara (PMN) dari APBN pascapembentukan holding benarbenar terealisasi maka akan berefek pada penghematan APBN yang sangat signifikan.
Tahun ini saja DPR menyetujui PMN bagi 20 BUMN sebesar Rp44,38 triliun. Penyediaan dana PMN yang dialihkan pada holding BUMN ini, tentu lebih tepat, terutama untuk mencapai tujuan pembangunan yang diinginkan bersama serta mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.
Keempat, jika konsep holding ini benar-benar mampu meningkatkan kinerja BUMN BUMN di bawahnya, kita akan mendapat dukungan signifikan dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan aktivitas pembangunan yang begitu gencar juga diharapkan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang berlaku dalam jangka panjang.
Dari sisi perhitungan PDB lapangan usaha, menggeliatnya kinerja holding BUMN dan kinerja sektor usaha lainnya akibat peningkatan kualitas infrastruktur, akan bermuara pada peningkatan efisiensi bisnis serta mendongkrak pendapatan pelaku ekonomi di dalamnya. Selain itu, juga akan mendukung pertumbuhan PDB dari sisi pengeluaran, terutama yang terkait dengan variabel konsumsi masyarakat dan pemerintah, sertaPenyertaanModal Tetap Bruto (PMTB).
Semakin luasnya aktivitas ekonomi yang muncul serta lebih tingginya pertumbuhan ekonomi yang dicapai, akan mendorong perluasan tax base dan pendapatan pajak bagi pemerintah. Strategi holding ini pada dasarnya sudah banyak dilakukan perusahaan yang berusaha menjalan organisasi yang lebih efisien dan meningkatkan daya saing.
Agar tujuan ini bisa dicapai, ada beberapa hal yang perlu dilakukan: Pertama, pembentukan holding harus diimbangi dengan kerelaan untuk menanggalkan campur tangan politik yang sarat kepentingan pragmatis.
Presiden harus membuktikan keputusan membentuk holding ini merupakan bagian dari kampanye Revolusi Mental ditubuh BUMN, terutama mewujudkan BUMN yang profesional, menghasilkan penerimaan negara yang signifikan, serta menjadi sumber belajar bagaimana membentuk entitas usaha yang menguntungkan dan berdaya saing. Kedua, harus ada sinkronisasi perencanaan usaha antara BUMN dan BUMD, untuk mengurangi persaingan yang merugikan di antara entitas usaha milik pemerintah ini.
Pada posisi ini, Bappenas serta Bappeda dapat menjadi lokomotif, terutama pada pembagian wilayah dan sektoral. Badan perencanaan pusat dan daerah seharusnya mampu menyediakan skema pembiayaan untuk proyek per wilayah atau sektor tertentu melalui kajian yang komprehensif berbasis pada harmonisasi kerja antara BUMN dan BUMD dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan profesional.
Ketiga, pembentukan holding ini hampir bisa dipastikan akan diikuti proses merger pada beberapa entitas yang tentu akan diikuti oleh transformasi organisasi yang mengarah pada efisiensi. Dari sisi permodalan, holding memiliki kewenangan untuk masuk pada pasar modal, walaupun ada ketentuan yang harus dipatuhi.
Menteri BUMN menjamin holding secara 100% tetap dikuasai pemerintah, sedangkan perusahaan BUMN-nya sebagai anak dari holding minimal 51% sahamnya tetap dikuasai pemerintah. Sisa saham bisa dialokasikan untuk investor swasta dengan tujuan peningkatan modal BUMN. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan modal sosial antar-BUMN, yang bisa dilihat dari semakin kuatnya bonding dan bridging dalam penguatan kelembagaan yang mendukung efisiensi.
Sisi bonding ditujukan untuk memperkuat tata nilai internal melalui kerja sama antara perusahaan-perusahaan dalam holding agar proses merger ini dapat mendorong biaya transaksi yang lebih efisien. Sementara pada sisi bridging , ditujukan untuk meningkatkan kerja sama dengan pihak eksternal seperti kementerian terkait, investor baik swasta maupun masyarakat, agar pembentukan holding ini mendapat dukungan moral dan finansial. Masyarakat tentu berharap upaya keras pemerintah, khususnya dalam mengoptimalkan peran BUMN kepada penerimaan negara, tentu patut kita hargai.
Apalagi kondisi RAPBN 2017, yang lebih mengisyaratkan betapa berat tantangan fiskal. Kita membutuhkan perubahan paradigma dalam pengelolaan penerimaan negara. Selama ini kita selalu bersandar pada penerimaan pajak dan pinjaman, sehingga BUMN terkesan ”tidak harus” berkontribusi signifikan pada penerimaan negara. Tentu perubahan paradigma ini tidak sertamerta terjadi begitu saja.
Hal itu memerlukan beberapa hal mendasar lainnya seperti perbaikan kualitas SDM, kualitas kepemimpinan, konsistensi kebijakan, serta teguh memegang tujuan-tujuan jangka menengah dan panjang. Pemerintah sudah berkomitmen untuk hal tersebut dan bagi kita tentu kerja nyata yang harus dilakukan untuk kepentingan semua. Selamat bekerja nyata!