Satu tahun berlalu bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dengan segala dinamikanya. Ketidakberuntungan mengikuti pemerintahan ini saat harus menggunakan APBN peninggalan pemerintahan sebelumnya, yang sangat jauh untuk semangat Nawa Cita yang diusungnya.

Selanjutnya, perubahan nomenklatur anggaran sebagai konsekuensi perubahan nama kementerian, yang ternyata tidak secara cepat diikuti oleh perubahan regulasi, sehingga sampai dengan April 2015 permasalahan itu baru terselesaikan. Dampaknya, penyerapan anggaran pada kementerian dan lembaga (K/L) sangat parah, bahkan beberapa L/K hanya mampu menyerap di bawah 5% pada semester I.

Berikutnya problem eksternal ekonomi yang cukup parah menghantam ketahanan perekonomian, sehingga memojokkan perekonomian dalam negeri. Perlambatan perekonomian dunia berdampak pada perekonomian Indonesia. Depresiasi rupiah, perlambatan investasi dan ekspor merupakan indikasi dampak perlambatan perekonomian global terhadap perekonomian Indonesia.

Data BPS menunjukkan bahwa secara kumulatif nilai ekspor Indonesia semester I 2015 turun sebesar 11,86% dibandingkan dengan periode yang sama di 2014. Sementara, nilai rupiah yang mengalami depresiasi selama beberapa bulan terakhir berdampak pada kenaikan biaya produksi bagi industri-industri yang bergantung pada bahan baku impor.

Di sisi lain, perlambatan ekonomi global juga berdampak pada turunnya realisasi PMA pada semester I/2015, di mana realisasi PMA pada periode tersebut turun sebesar 2,5%. Melihat perkembangan perekonomian Indonesia yang terus tertekan, maka pemerintah meresponsnya dengan mengeluarkan berbagai paket kebijakan ekonomi.

Dalam konteks analisis makro, paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, mulai paket kebijakan ekonomi jilid I sampai dengan jilid IV pada intinya adalah pro-bisnis. Melalui paket kebijakan tersebut diharapkan tercipta iklim usaha yang kondusif sehingga mendorong kenaikan investasi dan ekspor.

Kemudian, dampak akhir dari kebijakan ekonomi yang dilakukan adalah stabilitas perekonomian. Paket kebijakan ekonomi jilid I sampai dengan IV memiliki fokus dan tujuan yang lebih spesifik. Pada paket kebijakan ekonomi jilid IV terdapat salah satu kebijakan yang bertujuan menguatkan sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Instrumen penguatan UMKM ini melalui peningkatan KUR pada perorangan atau pekerja yang melakukan kegiatan usaha produktif dan penguatan pembiayaan UKM oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Langkah penguatan UKM ini merupakan suatu kebijakan yang tepat, karena UKM memiliki peranan yang strategis di dalam perekonomian Indonesia.

UKM dan Ekonomi Nasional

Peranan strategis UMKM dalam perekonomian dapat dilihat dari beberapa indicator seperti kontribusi dalam pembentukan PDB dan penyerapan tenaga kerja. Jumlah UMKM yang mencapai lebih dari 56 juta unit mampu menyumbang PDB nasional sekitar 59% dan menyerap tenaga kerja sekitar 110 juta tenaga kerja.

Dari sisi ekspor, berdasarkan data DJPEN Kemendag menunjukkan bahwa selama tahun 2014 ekspor UMKM menyumbang sekitar 16% (USD23 miliar) dari total ekspor non-migas. Berdasarkan data-data tersebut membuktikan bahwa UMKM memiliki andil besar dalam menyangga perekonomian nasional.

Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah kembali fokus memperkuat fondasi perekonomian dengan penguatan UMKM sebagai dasar kebijakan yang mampu memicu penyelesaian permasalahan perekonomian di Indonesia. Permasalahan klasik yang dihadapi oleh UMKM sampai saat ini adalah lemahnya akses permodalan, akses pemasaran, rendahnya kualitas produksi, SDM yang kurang berkualitas, dan akses penggunaan teknologi.

Dalam konteks global, UMKM dalam waktu dekat ini harus menghadapi pemberlakuan ASEAN Economic Community (AEC), yang menuntut akselerasi peningkatan daya saing UMKM. Dalam rangka peningkatan daya saing UMKM Indonesia, pemerintah dapat belajar dari beberapa pengalaman negara lain di dalam mengembangkan UMKM-nya.

Di beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, dan China, pemerintahnya membangun pusat-pusat pelatihan dan pengembangan teknologi bagi UMKM. lembaga-lembaga ini semacam inkubator bisnis bagi wirausahawan baru, di mana mereka mendapatkan dukungan pelatihan, permodalan, teknologi, sampai dengan pemasaran.

Di Indonesia hal ini sudah dilakukan dengan pengembangan inkubator bisnis di beberapa perguruan tinggi. Di samping itu, pola pengembangan UMKM di beberapa Negara lain yang dapat diadaptasi adalah membangun keterkaitan (production linkages) UMKM dengan industri menengah-besar.

Selanjutnya, dukungan terhadap penggunaan bahan baku lokal harus ditingkatkan. Pembatasan impor bahan mentah dapat ditempuh dalam rangka meningkatkan penggunaan bahan baku lokal pada UMKM.

Fokus dan Kurangi Kegaduhan

Program-program pembangunan UMKM pemerintahan Jokowi-JK memerlukan penajaman dan aksi yang lebih lugas, terkait dengan permasalahan dan tantangan UMKM. Penyelesaian UMKM tidak hanya tanggung jawab satu kementerian, tetapi beberapa kementerian dituntut untuk berkoordinasi dan fokus pencapaian target.

Dirigen atas kerja yang terorkestra sangat diperlukan saat ini, permasalahan yang tidak perlu jangan dengan murah dijual ke media, kegaduhan itu akan semakin menjauhkan kita dari fokus penyelesaian permasalahan dan semakin menjauhkan dari cita-cita mulia yang dicanangkan di awal pemerintahan.

CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Brawijaya

Sumber : http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=12&date=2015-10-20