Kasak-kusuk mengenai program amnesti pajak (tax amnesty) kini mulai berangsur-angsur terdengar semakin sunyi.

Salah satu penyebabnya, boleh jadi perhatian publik banyak teralihkan dengan isu strategis lainnya, terutama berkenaan dengan memanasnya situasi politik di ibu kota DKI Jakarta. Selain itu, masyarakat menilai pemerintah tidak memberikan banyak opsi gebrakan yang secara efektif dapat menunjang aktivitas pengampunan pajak. Prediksi dari beberapa pengamat pun kini terbukti mulai mendekati kenyataan.
Mereka sudah memperkirakan geliat penerimaan tax amnesty akan memuncak pada periode pertama, kemudian setelahnya akan tampak biasa-biasa saja. Ihwal terbesarnya bisa jadi didorong karena persentase tarif tebusan di tahap pertama yang paling rendah dibandingkan periode kedua dan ketiga, sehingga wajar pergerakan dana yang masuk ke kas negara pasca- September 2016 trennya semakin menukik ke bawah. Saat periode pertama kita mampu menghasilkan dana tebusan hingga Rp97,2 triliun, namun di periode berikutnya dalam kurun waktu Oktober sampai 10 Desember, dasbor Ditjen Pajak merekam pertambahannya baru sekitar Rp2,56 triliun.

Dampak berkurangnya geliat tax amnesty ikut merombak ekspektasi publik terhadap penerimaan pajak 2016. Masyarakat mulai ragu realisasi pajak mendekati target APBN-P 2016. Sebab hingga akhir November, Ditjen Pajak melaporkan realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp965 triliun, atau sekitar 72,28% dari target penerimaan Rp1.335 triliun. Padahal sisa waktu pengumpulan pajak tidak lebih dari tiga pekan ke depan dan angka tersebut sudah diagregatkan dengan perolehan dana dari tax amnesty.

Menteri Keuangan tampaknya masih sangat optimistis kita akan menutup neraca penerimaan pajak tidak jauh-jauh dari target APBN-P 2016. Optimisme ini didasarkan pada pola pembayaran pajak rutin di setiap menjelang tutup tahun, yang potensinya berada di kisaran Rp100 triliun. Menkeu memiliki hitung-hitungan pemasukan dari tax amnesty dan extra-effort akan menghasilkan dana tambahan lain berkisar Rp42 triliun. Kalau dibandingkan dengan perolehan dana tebusan pajak hingga akhir pekan lalu baru mencapai Rp2,56 triliun, itu berarti akan terjadi proyeksi peningkatan hampir Rp39,5 triliun dalam tiga pekan ke depan.

Harapan terbesar pemerintah untuk mendongkrak penerimaan tampaknya masih akan bergantung pada aktivitas pengeluaran (belanja) pemerintah, serta momentum Natal dan Tahun Baru yang diharapkan meningkatkan konsumsi masyarakat. Nah, terkait dengan target realisasi tax amnesty, pemerintah harus pandai-pandai dalam menelurkan strategi kebijakannya. Strategi yang semakin dipanaskan Ditjen Pajak dalam periode kedua ini, ialah menyasar ke beberapa profesi yang kontribusi pajaknya relatif timpang dengan potensi yang diasumsikan.

Langkah ini dianggap melengkapi strategistrategi sebelumnya yang terhitung jorjoran mengejar partisipasi dari taipan-taipan kakap di dalam dan luar negeri. Profesi-profesi yang saat ini tengah “dikepung” Ditjen Pajak di antaranya terdapat profesi analis, pengacara, dan dokter. Kalau dihitung dengan profesi lainnya yang turut dibidik seperti notaris, konsultan pajak, akuntan, penilai, gubernur, dan wakil gubernur, serta komisaris dan direksi BUMN, tingkat partisipasi sembilan profesi ini baru mencapai 16,8% dari jumlah yang seharusnya mengikuti program ini selama periode pertama lalu. Terkini, Menkeu mulai membidik para bankir.

Di akhir November, para komisaris dan direksi BUMN tidak luput dari koreksi dalam hal partisipasi pengampunan pajak. Bahkan Menkeu menganggap partisipasi pengelola BUMN dapat dikategorikan “memalukan”, karena dari 701 BUMN beserta anak perusahaannya, hanya 28 perusahaan yang mengikuti program ini. Langkah pemerintah untuk menggali potensi penerimaan dari taxamnesty sedikitdiuntungkan dengan dirilisnya daftar orang-orang terkaya di Indonesia versi Forbes.

Sedikitnya 250 warga Indonesia tercantum di deretan orang-orang terkaya. Namun ironinya terdapat delapan orang terkaya yang ternyata belum terdaftar sebagai wajib pajak. Data tambahan berikutnya dihimpun dari beberapa Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak yang merilis 258 wajib pajak prominen (besar), sehingga kalau ditotal ada 500 wajib pajak prominen potensial. Di antara 500 orang tersebut, terdapat 100 wajib pajak di dalamnya yang belum berpartisipasi dalam tax amnesty. Kalau kita sandingkan dengan publikasi Bank Dunia di penghujung tahun lalu, seharusnya potensi wajib pajak besar jauh lebih banyak lagi.

Bank Dunia (2015) mengumumkan bahwa 1% penduduk menguasai sekitar 50,3% kekayaan Indonesia. Kalau diartikan secara sederhana, misal kita proxy-kan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berkisar255jutajiwa, makasetidaknya terdapat potensi sekitar 2,55 juta wajib pajak prominen. Pertanyaannya sekarang, mampukah pemerintah mengejar sisa-sisa prominennya?

Kalau pemerintah memang memiliki data-data akurat mengenai potensi perpajakan di Indonesia (seperti pengakuanpengakuan di hadapan publik sebelumnya), maka seharusnya jawabannya Iya! Basis data inilah yang kemudian menjadi panduan objek-objek mana saja yang perlu “diadili” Sekarang kita perlu benar-benar memikirkan bagaimana cara lanjutannya agar momentum tax amnesty dapat berlangsung secara impresif. Pertama, retorika reformasi pajak sudah harus dipublikasikan sejauh mana progresivitasnya.

Kalau Menkeu dan Ditjen Pajak benar-benar memiliki basis data perpajakan akurat, itulah yang harus segera dieksekusi. Teori eksekusi di sini, bukan berarti sekadar hendak “menakut-nakuti” dengan beragam senjata perundangundangan, melainkan memperbaiki hubungan moral di antara penguasa (pemerintah) dan rakyat (wajib pajak).

Penulis menganggap gap antara realisasi dan potensi pajak tidak berhenti pada aspek tax evasion atau tax avoidance , tetapi perlu digali dengan lebih mendalam sebenarnya apa saja yang mendorong rendahnya partisipasi dalam perpajakan, sehingga ide reformasi pajak tidak terbatas pada perbaikan basis data, sarana-prasarana pembayaran, dan/atau penegakan hukum saja, tetapi perlu serta dibangun “teknologi” yang menampung modal sosial yang kuat antara pemerintah dan wajib pajak.

Kedua, kita perlu menerima fakta bahwa tingkat kepatuhan pajak terkoneksi kuat dengan persepsi masyarakat. Masyarakat tentu berharap pengelolaan pajak (terutama yang digunakan untuk belanja pemerintah) akan berdampak ganda terhadap peluang mereka untuk lebih sejahtera. Ada baiknya jika reformasi perpajakan diulas mulai hulu (tahap penyerapan) hingga hilir (penggunaan pajak), sehingga garis besarnya perlu ada fasilitas yang membuat masyarakat mudah untuk melakukan pembayaran pajak hingga proses pengawasan penggunaan pajak.

Pemerintah dapat mengupayakan misalnya pengembangan fiture-tax untuk penguatan birokrasi dan administrasi (reduce abuse of bureaucracy). Selain itu, faktor SDM juga perlu disinggung untuk membangun integritas dan kredibilitas. Kasus penangkapan pegawai pajak yang terlibat skandal penyuapan pada bulan lalu seharusnya ditindaklanjuti secara transparan agar tidak lagi mencoreng kepercayaan publik. Hal yang tidak kalah pentingnya, publik sedianya juga harus diberikan ruang interaksi yang mumpuniuntukmemantauperkembangan pembangunan, terutama yang menggunakan dana APBN.

Seandainya fitur egovernment yang dijanjikan Presiden Joko Widodo dapat menjadi fasilitas utama, nantinya akan lebih mampu membangun persepsi positif masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pembangunan. Ketiga, jangan dikotomikan pihak-pihak yang masih dipandang sebagai “kaum marginal” dalam program ini, seperti halnya yang terjadi terhadap pelaku UMKM. Proyeksi penerimaan dana tebusan dari pengusaha UMKM mungkin diasumsikan relatif kecil jika dibandingkan perusahaan-perusahaan besar.

Namun jika kita kalkulasi ulang dengan jumlah UMKM yang sangat mendominasi struktur usaha dalam negeri, bisa jadi mereka nantinya akan banyak “menolong” pendapatan pajak. Pengenaan pajak terhadap pelaku UMKM memang dirasa cukup dilematis mengingat skala profit yang mereka terima hingga saat ini masih tergolong minim. Oleh karena itu, Presiden dan Menkeu dalam masa sosialisasi seharusnya juga ikut menampung curhatan para pelaku agar nantinya dapat memproyeksikan secara empiris, rencana tindak lanjut penggunaan dana yang terkumpul untuk pengembangan UMKM.

Pemerintah dapat menstimulus misalnya dengan rencana pengembangan akses kredit dan/atau peningkatan kualitas infrastruktur agar UMKM dapat terhindar dari jebakan high cost economy . Keempat, effort dari pemerintah daerah masih dinilai tergolong rendah untuk turut menyukseskan program tax amnesty. Penilaian ini bisa dikonfirmasi dari masih minimnya sosialisasi pemerintah daerah untuk mendukung partisipasi pelaku UMKM.

Dengan jumlah UMKM yang ditaksir mencapai puluhan juta unit, tentu akan menimbulkan kesulitan tersendiri jika tidak ditunjang kolaborasi yang kuat dengan pemerintah daerah. Sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah nantinya akan juga menyinggung mengenai pengelolaan investasi dari dana repatriasi. Kita jangan sampai lengah dengan proses sinkronisasi ini seperti halnya pada paket-paket kebijakan ekonomi kemarin, yang pada akhirnya banyak dijumpai tumpangtindih kepentingan.

Kita tentu berharap konsep yang selalu didengungkan pada setiap konsensus pajak sebagai medan pemerataan pembangunan dapat betul-betul diwujudkan. Untuk melahirkan secercah harapan dengan adanya wacana reformasi pajak tentu tidak hanya bersumber pada reformasi satu arah dari sisi penyerapan saja, tetapi juga perlu ada reformasi yang membuka keyakinan para pembayar pajak terkait dengan penggunaan setiap rupiah yang disetorkan. Instrumen inilah yang sekiranya dapat menjadi pengikat modal sosial yang kuat antara kepentingan pemerintah dan rakyat.

Kita perlu memotivasi pemerintah untuk senantiasa memberikan tempat yang terbaik bagi masyarakat, baik sebagai subjek dan/atau objek utama dalam pembangunan. Dengan semakin sehatnya sektor perpajakan yang dapat diukur dari peningkatan partisipasi wajib pajak, semakin menunjukkan bahwa tercipta harmoni yang kuat di antara negara dan rakyat dalam gotongroyong pembangunan nasional. Semoga angan-angan ini dapat segera direalisasikan, terutama dengan memanfaatkan momentum indah melalui program tax amnesty ini.

Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya