Reshuffle Kabinet Kerja Jilid II akhirnya benarbenar diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (27/7). Beberapa menteri ekonomi terkena pergeseran/ penyegaran.

Berita yang paling fenomenal, tentu kita patut bergembira menyambut kembalinya Sri Mulyani Indrawati yang berhasil ”direpatriasi” Presiden Jokowi dari Bank Dunia. Sosok ekonom legendaris ini kembali ditempatkan sebagai menteri keuangan (menkeu) dan diharapkan mampu mendorong ekspektasi masyarakat dalam dan luar negeri terhadap perekonomian Indonesia.
Menkeu sebelumnya Bambang Brodjonegoro bergeser ke posisi baru sebagai menteri PPN/kepala Bappenas. Selain posisi menkeu, beberapa nama juga masuk sebagai pengganti sebagian menteri/ kepala badan di lingkup ekonomi. Para punggawa baru itu boleh dibilang mendapat warisan pekerjaan rumah yang berat. Yang pertama, dari sisi ketimpangan pembangunan, kita harus legawa, realitas yang terjadi cukup menyesakkan dada.

Bank Dunia (2015) mengungkapkan, indeks gini rasio naik signifikan sejak awal milenium 2000. Pertumbuhan tingkat ketimpangan antarkelompok pendapatan kita bahkan yang paling cepat di antara negara-negara kawasan Asia Timur, dari yang semula tercatat 30 poin terus melonjak menjadi 41 poin dalam 15 tahun terakhir. Capaian Indeks Williamson, sebagai alat ukur ketimpangan wilayah antardaerah sepanjang 2010-2014, menunjukkan gejala peningkatan yang tak kalah hebat.

Bappenas (2016) mengungkapkan, Indeks Williamson kita sudah mencapai angka 0,7, yang berarti tingkat kesenjangan antarwilayah cukup memprihatinkan. Penyebabnya beragam, bisa ditengarai karena timpangnya fasilitas pengembangan sumber daya manusia (utamanya pendidikan dan kesehatan), tidak meratanya pembangunan investasi dan infrastruktur, serta pendapatan dari sektor pertanian (termasuk petaninya) yang nilai riilnya semakin menurun.

Pemerintah Brasil telah berhasil menurunkan indeks gini sebesar 14 poin. Salah satu kunci keberhasilannya yakni melalui kebijakan fiskal yang progresif dalam percepatan pembangunan angkatan kerja berkeahlian (skilled labor ) dan efisiensi investasi melalui perbaikan lingkungan usaha. Secara empiris kita bisa belajar dari beberapa kajian, termasuk dari pidato guru besar kepala BKF saat ini, Prof Suahasil Nazara, bahwa kualitas belanja yang buruk pada pemerintah daerah menyebabkan ketimpangan wilayah yang semakin lebar.

Untuk itu, kebijakan fiskal yang tegas serta harmonisasi belanja antartingkatan pemerintah vertikal dan horizontal akan membantu semakin efektifnya kebijakan fiskal pemerintah. Kedua, Indonesia tengah mengalami fase pengelolaan keuangan negara yang cukup berat. Masalah terbesarnya tentu pada ketersediaan anggaran untuk membiayai proyek-proyek pembangunan infrastruktur.

Pemerintah menghadapi pilihan sulit dalam menjaga harmoni antara pilihan menjaga program pemerintah tetap jalan sesuai jadwal atau mengurangi belanja, khususnya jika pundi-pundi penerimaan negara tidak sesuai harapan. Berdasarkan undangundang, pemerintah juga harus memperhatikan defisit anggaran yang tidak boleh lebih dari 3% produk domestik bruto (PDB).

Karena itu, Presiden meminta menkeu untuk fokus pada kebijakan amnesti pajak agar berhasil dan menjadi dasar yang lebih baik untuk merancang penerimaan negara di tahun fiskal berikutnya. Ketiga, kita juga tengah mengalami masalah yang cukup pelik di lingkungan sektor riil. Kita sudah telanjur memasang cita-cita tinggi terkait pembangunan sektor riil. Kenyataan yang terjadi, ekspor kita terus melemah, baik karena rontoknya harga komoditas maupun belum pulihnya pasar yang menekan permintaan.

Di dalam negeri, di mana mayoritas penduduk masih bergelut di sektor pertanian, ketersediaan lahan pertanian kalah bersaing dan semakin terdesak dengan kebutuhan perumahan dan industri. John W Mellor(1995) menyatakan, pembangunan yang berfokus pada pertanian cenderung lebih berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita memang sudah memasuki eratransformasi struktural dari era pertanian menuju tahap industrialisasi dan jasa walaupun saat ini hasilnya tidak terlalu mengesankan.

Apalagi, pilihan jenis-jenis industri yang dikembangkan relatif tidak terkoneksi dengan endowment factor yang dikuasai Indonesia. Akibatnya, industri di Indonesia mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan baku dan bahan penolong, serta sering terombangambing dengan kondisi perekonomian eksternal. Dan, muaranya, sektor industri tidak begitu kuat untuk dijadikan tulang punggung perekonomian Indonesia dalam upaya peningkatan nilai tambah dan sebagai ladang penyerapan tenaga kerja.

Keempat, kita masih menghadapi persoalan pada pembangunan berbagai jenis infrastruktur strategis yang masih belum menemukan pola idealnya. Keterbatasan sumber daya keuangan dan perencanaan banyak menghambat daya dukung infrastruktur terhadap peningkatan daya saing nasional. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, satu-satunya indikator yang relatif meyakinkan untuk urusan daya saing kinerja infrastruktur hanya muncul dari sisi kelistrikan yang menempatkan Indonesia di urutan terbaik kedua di ASEAN.

Sedangkan sisanya seperti pada indikator kinerja logistik, Indonesia masih menempati urutan kelima ASEAN; dari segi produktivitas berada di posisi keempat; dan dari segi daya saing global kita masih tercecer di urutan keempat di antara negara-negara ASEAN.

Optimisme Baru

Reshuffle kali ini banyak mendapat apresiasi positif oleh berbagai pengamat dan pelaku ekonomi. Indikasinya dapat terlihat salah satunya dari respons pasar keuangan dan modal yang sangat sensitif dengan kebijakan ekonomi politik. IHSG menguat pada hari yang sama dengan pengumuman reshuffle. Perdagangan di bursa sangat ramai sehingga nilai transaksi mencapai Rp10 triliun.

Kurs rupiah terhadap dolar AS juga terdampak positif dengan penguatan 0,3% menjadi Rp13.131 pada hari yang sama. Sri Mulyani betul-betul dianggap sebagai ”Dewi Fortuna” yang diharapkan menjadi garansi tersendiri bagi aktivitas investasi di Indonesia yang menawarkan prospek ekonomi yang lebih menarik. Citra positif Sri Mulyani juga disinyalir dapat memperlancar kesuksesan program amnesti pajak yang ditargetkan mampu merepatriasi kekayaan wajib pajak di Indonesia yang tersebar di luar negeri.

Kehadiran Sri Mulyani diharapkan turut memperbaiki persepsi dan ekspektasi dari wajib pajak tersebut, terutama yang terkait pengelolaan dana repatriasi. Selain itu, harapan berikutnya yang dianggap sebagai ”keberuntungan” bagi pemerintah sekarang adalah modal sosial yang besar karena Menkeu Sri Mulyani dengan Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro memiliki berbagai kesamaan latar belakang seperti pendidikan, almamater baik di tingkat sarjana maupun doktoral, serta pernah menjadi ketua dan anggota Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal (TADF) Kemenkeu.

Keuntungan dari segi modal sosial ini perlu dimanfaatkan untuk memperkuat kesolidan lintas kementerian, terutama antara perencanaan pembangunan dan penganggaran. Apalagi, muncul wacana, pada Agustus ini akan diterbitkan peraturan pemerintah (PP) mengenai perencanaan penganggaran. PP ini akan menggantikan dua PP sebelumnya yakni PP Nomor 40 Tahun 2006 dan PP Nomor 90 Tahun 2010 yang masing-masing berisi tentang sistem perencanaan nasional dan tentang keuangan negara.

Dari berbagai sumber pemberitaan yang tengah beredar, PP yang tengah digodok ini akan memberikan hak eksklusif terhadap peran Bappenas untuk menyusun perencanaan anggaran pada programprogram prioritas. Dengan demikian, Bappenas dan Kemenkeu diharapkan mampu menyinkronisasi ulang proses penyusunan anggaran dan kebijakan sehingga dana yang dikucurkan diyakini lebih efektif dan tepat sasaran.

Proses sinkronisasi juga perlu diterjemahkan hingga tataran pemerintah daerah agar dana yang dapat dihimpun dari kantong APBN dan APBD dapat disinergikan pada program pembangunan jangka pendek dan jangka menengah yang sesuai arah pembangunan prioritas. Dan, yang terakhir, perlu kita waspadai efek penyegaran di tubuh Kabinet Kerja ini jangan sampai membuat kita terlena dengan euforia.

Semua punggawa pemerintahan harus fokus menerjemahkan semangat perubahan dengan kinerja yang lebih meyakinkan dan terarah. Jangan sampai kepercayaan masyarakat yang sudah telanjur membumbung tinggi berangsur-angsur melemah kembali. Kita doakan, mudahmudahan kebijakan pemerintah, khususnya amnesti pajak, benar-benar menyelamatkan Indonesia dari kelangkaan pembiayaan pembangunan, ancaman defisit anggaran, dan yang lebih penting adalah penguatan kemandirian bangsa.

Untuk itu, euforia yang muncul atas terpilihnya menteri ekonomi yang baru, secepatnya berganti dengan tata kerja yang terstruktur dan fokus, serta secepatnya menanggulangi hambatan dan benang ruwet yang muncul selama ini. Sekali lagi, selamat bekerja kepada para menteri baru untuk membangun Indonesia Baru.

CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya