Drama politik mengenai pengesahan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 telah berakhir melalui sidang paripurna DPR pada pengujung Oktober 2015. Dari sidang tersebut, pemerintah akan dibebani beberapa instrumen APBN sebagai berikut. Pertama, pendapatan negara direncanakan mencapai Rp1.822,5 triliun yang terdiri atas penerimaan pajak Rp1.546,7 triliun, penerimaan bukan pajak Rp273,8 triliun, dan dana hibah Rp2 triliun. Kedua, alokasi belanja negara mencapai Rp2.095,7 triliun dengan perincian belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.325,6 triliun serta perimbangan ke daerah dan dana desa sebesar Rp770,2 triliun.

Ketiga, rancangan APBN juga menetapkan rencana pembiayaan anggaran sebesar Rp273,2 triliun (defisit 2,15%). Output dari ketetapan APBN 2016 juga menghasilkan konsensus terkait dengan beberapa target makro ekonomi nasional.

Pertumbuhan ekonomi pada 2016 diproyeksikan 5,3%, inflasi terkendali pada angka 4,7%, kurs rupiah menguat hingga Rp13.900 per dolar Amerika Serikat (AS), tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan 5,5%, Indonesia crude price (ICP) USD50 per barel, lifting minyak 830.000 barel per hari, dan gas dihasilkan 1,15 juta barel setara minyak.

Selain itu, tingkat kemiskinan tidak lebih dari 9-10%, indeks rasio gini mampu ditekan hingga 0,39, IPM 70,1, dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) mampu ditekan hingga 5,2-5,5%. Untuk mengawal targettarget yang sudah ditetapkan, pemerintah perlu belajar dari masa kepemimpinan di tahun pertama yang aplikasinya masih cukup jauh dari gembargembor di awal 2015.

Langkah pembuka dalam proses pengajuan dan pengesahan APBN 2016 sudah menjadi awal yang baik karena dilakukan sebelum tahun 2015 berakhir. Upaya ini dapat memperpanjang masa persiapan institusi pemerintah untuk melakukan proses birokrasi layanan publik. Pengalaman di 2015 menjadi pijakan di mana proses pelayanan publik nyaris hanya efektif berjalan dalam 6 bulan karena molornya penetapan APBN 2015.

Selain proses penetapan APBN 2016 yang sudah cukup kreatif untuk diselesaikan sebelum pergantian tahun, penulis juga memiliki beberapa catatan penting yang sekiranya perlu diungkapkan agar mendapatkan perhatian sebagai dasar penyusunan kebijakan. Pertama, dilema antara melanjutkan program pengalihan subsidi untuk meningkatkan belanja infrastruktur atau meningkatkan subsidi pada beberapa kebutuhan dasar (seperti BBM dan tarif listrik).

Kedua kebijakan tersebut di Indonesia sama-sama memegang peranan penting sekalipun dampaknya tidak selalu terasa secara langsung terhadap masyarakat. Pengembangan infrastruktur yang merata dalam jangka panjang akan menunjang citacita untuk mewujudkan pertumbuhan yang inklusif.

Namun pada sisi yang lain, dengan pengalokasian belanja infrastruktur dari hasil pengurangan subsidi, timbul kritikan karena desain kebijakan tersebut terkesan mengesampingkan beberapa efek jangka pendek. Kemiskinan sebagai salah satu indikator makroekonomi yang utama dapat dijadikan salah satu titik perhatian. Rekaman data dari BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode Maret 2015 mengalami kenaikan dengan total mencapai 28,59 juta jiwa.

Secara teori, angka kemiskinan yang meningkat dapat disebabkan karena daya beli masyarakat tengah mengalami kontraksi. Penurunan daya beli bisa didorong dari faktor kenaikan harga (inflasi) dan tingkat pendapatan yang tidak menemukan titik ekuilibrium. Situasi ini yang kemudian direspons dengan maraknya demo kenaikan upah, terutama dari kalangan buruh, untuk menyeimbangkan antara penerimaan dan pengeluaran di tingkat rumah tangga.

Respons lanjutan dari pemodal/ pemilik perusahaan menjadi menarik untuk ditunggu dan mudah-mudahan tidak terjebak pada pola PHK serta “memaksa” meningkatkan harga jual produknya demi menjaga keseimbangan neraca keuangan perusahaan. Jika pemerintah tidak cukup jeli mengatasi permasalahan ini, dikhawatirkan akan semakin mengancam stabilitas ekonomi dan politik nasional.

Niatan untuk mengurangi subsidi perlu ditera ulang karena efeknya dapat menggelinding bak bola salju yang dapat mematahkan sendi-sendi fundamental makro ekonomi. Solusi sederhananya, pemerintah perlu fokus untuk meningkatkan penerimaan/pemasukan terhadap kas negara hingga nantinya antara kebutuhan subsidi dan belanja infrastruktur tidak membahayakan satu sama lain.

Kedua, evaluasi terhadap pajak sebagai tulang punggung utama penerimaan kas negara pada tahun 2015 kinerjanya relatif tersendat-sendat. Hingga dua bulan menjelang penutupan tahun 2015, pajak nonmigas yang dikumpulkan masih sebesar Rp714,5 triliun dan pajak migas baru Rp43 triliun sehingga total pajak yang terserap baru Rp758,27 triliun (58,6%) dari target APBN-P 2015 sebesar Rp 1.244,7 triliun.

Dirjen Pajak juga mengakui bahwa tax ratio sebagai perbandingan antara penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB) hingga Oktober 2015 hanya 11% atau di bawah target APBN-P 2015, 12,7%. Capaian ini masih cukup rendah jika dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 16% dan Singapura yang bahkan sudah 18%. Jika merunut pada kalkulasi yang disampaikan Dirjek Pajak mengenai “lolosnya” beberapa potensi pendapatan pajak, ratarata Indonesia kehilangan Rp400 triliun pada setiap tahunnya.

Angka ini jelas cukup menggiurkan dan dapat menutup alokasi kebutuhan belanja infrastruktur yang dianggarkan sekitar Rp313,5 triliun pada 2016. Dirjen Pajak juga mengemukakan salah satu alasan penyebab kurang terpenuhinya target penerimaan pajak adalah lesunya kegiatan perekonomian dan rendahnya capaian pertumbuhan ekonomi sepanjang 2015.

Ketiga, Sisa Lebih Pembiayaan (Silpa) 2015 diperkirakan cukup tinggi karena tingkat penyerapan anggaran yang cukup rendah. Perkiraan dari Ketua Staf Ahli Wapres Sofjan Wanandi (Sindonews.com, 4/11/2015) mengenai penyerapan anggaran hingga akhir tahun 2015 maksimal hanya berkisar 80%.

Proses birokrasi disinyalir menjadi penghambat efektivitas anggaran, terutama karena perubahan nomenklatur beberapa kementerian/lembaga (K/L) pemerintahan, dampak psikologis dengan adanya ketakutan pelanggaran korupsi, dan mundurnya masa pengesahan APBN 2015.

Dengan mundurnya masa pengesahan APBN 2015, durasi waktu untuk K/L dalam melakukan layanan publik menjadi terhambat sehingga berdampak pada lesunya pertumbuhan ekonomi dan bermuara pada rendahnya pendapatan dari pajak. Dengan terselesaikannya rancangan APBN 2016, Presiden telah mengimbau penggawa di setiap K/L untuk segera mematangkan penyusunan dan persiapan kebijakan publik dalam durasi yang lebih panjang.

Keempat, mendorong realisasi investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri (PMA dan PMDN). Incremental Capital Output Ratio (ICOR) digunakan sebagai ukuran efisiensi investasi yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hasil kajian Bappenas tahun 2014 silam, nilai ICOR Indonesia masih berkisar 5,12% yang berarti untuk mendongkrak 1% pertumbuhan membutuhkan 5,12% pertumbuhan investasi dan belanja modal (termasuk infrastruktur).

Hal ini menunjukkan efisiensi investasi yang kita capai masih rendah jika bandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya dengan struktur demografi sejenis seperti Brasil (2,55%), Rusia (3,41%), Tiongkok (4,36%), dan India (4,92%). Kondisi ini menunjukkan pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup serius terkait dengan kualitas infrastruktur ekonomi dan birokrasi pemerintah.

Berdasarkan pengalaman pada APBN 2015, tidak hanya permasalahan anggaran yang kita hadapi saat ini, terutama jika dilihat dari Silpa yang cukup tinggi, tetapi yang sering luput dari perhatian kita adalah sistem birokrasi yang “belum berjalan seiring” dengan semangat menggebu Presiden dan tingginya harapan masyarakat.

Dengan demikian, tugas utamapemerintahterkaitAPBN 2016 praktis tinggal meneruskan upaya yang sudah dibangun di akhir tahun 2015 ini. Dengan durasi waktu persiapan yang relatif lebih panjang dari tahuntahun sebelumnya, seharusnya para menteri perlu membuat langkah cepat dan berkualitas mulai dari penyusunan tahapan birokrasi yang lebih efisien, pengawasan penggunaan anggaran hingga ketepatan sasaran alokasi anggaran.

Implikasi dari APBN 2016 ini akan berdampak besar terhadap roda perekonomian ke depan. Birokrasi yang baik akan berhubungan positif dengan proses penyerapan, daya dorong fiskal terhadap aktivitas pasar, dan tentunya mendorong capaian yang lebih baik dari penerimaan negara.

CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Malang