DALAM seminggu terakhir, dinamika perekonomian Indonesia masih berjalan cukup menantang, khususnya ihwal harga nilai tukar rupiah yang cenderung melemah. Minggu lalu ditutup pada harga yang relatif menjanjikan, yakni pada angka Rp13.887/USD.
Salah satu sebabnya adalah kebijakan bank sentral (Bank Indonesia/BI) yang menaikkan 7 days Repo Rate (7DRR) hingga dua kali dan kini menjadi 4,75%. BI memberikan alasan mengapa harus melakukan RDG (rapat dewan gubernur) hingga dua kali sebagai respons kebijakan bank sentral AS (The Fed) yang akan mengadakan semacam rapat dewan gubernur pada pertengahan bulan Juni.
Pada saat yang sama di pertengahan Juni nanti, bangsa Indonesia sebagian besar perhatiannya banyak dialokasikan pada acara sosial seperti mudik Lebaran dan halalbihalal yang bisa banyak menyita waktu. Karena itu BI memilih untuk curi start dengan menetapkan kenaikan 7DRR lebih awal ketimbang semuanya menjadi serbatelat diprediksi.
Alasan lain dengan menetapkan lebih awal, BI menganggap kebijakan meningkatkan suku bunga 7DRR adalah bersifat antisipatif (ahead the curve) menyongsong perubahan eksternal yang akan bisa terjadi. Tentu secara psikologis langkah ini bisa dinilai sangat baik, terutama karena akan memberikan ekspektasi yang positif bagi pasar dan memberikan keyakinan bahwa semua permasalahan masih berada dalam kontrol (in hand).
Setidaknya partisan pasar juga bisa bersiap lebih awal untuk menentukan kebijakan di lingkungan usahanya sembari menanti apa yang akan dilakukan The Fed pada pertengahan bulan ini.
Pertanyaan selanjutnya, apakah layak kita biarkan BI bekerja sendirian untuk menghadapi kurs rupiah yang terus bergolak ini? Tentu tidak demikian seharusnya.
Penulis mengamati bahwa secara keseluruhan, solusi atas permasalahan ini tidak cukup hanya dibebankan kepada pemangku kebijakan di sisi moneter. Pemerintah selaku otoritas kebijakan fiskal juga akan sangat berpengaruh dalam mendesain kebijakan yang saling sinergis. Bauran kebijakan yang saling mendorong ini yang kemudian dikenal dengan sebutan bauran kebijakan (policy mix).
Normatifnya, langkah BI yang sudah disusun lebih awal juga perlu diikuti kebijakan lainnya, terutama dari otoritas fiskal. Karena dampak dari perubahan kurs tidak hanya terbatas menyasar ke sektor keuangan saja, melainkan juga berimbas pada geliat di sektor riil.
Kita juga sama-sama tahu, di saat rupiah kita melemah sebenarnya pada sisi yang lain dapat menciptakan peluang bagi ekspor kita untuk terus digenjot. Hanya saja problemnya ternyata sebagian besar industri kita masih tergantung pada bahan baku (capital goods) dari luar negeri juga.
Sementara itu dengan kondisi rupiah seperti yang saat ini terjadi, harga-harga produk impor pun turut mengalami inflasi. Dan pada akhirnya situasi ini berdampak terhadap pembiayaan produksi yang semakin mahal hingga ujungnya produk ekspor kita urung memanfaatkan momentum ini dengan optimal.
Menanggapi hal tersebut, perlu dirancang beberapa kebijakan agar kontraksi yang sedang terjadi tidak semakin berlarut-larut. Titik fokusnya adalah bagaimana caranya agar nilai tukar rupiah tidak semakin terperosok dan membahayakan perekonomian dalam negeri.
Pertama, dengan berlakunya sistem kurs mengambang (floating systems), praktis nilai tukar mata uang suatu negara akan ditentukan oleh seberapa besar permintaan terhadap mata uang tersebut. Dengan begitu perlu upaya agar permintaan terhadap rupiah bisa semakin besar dan otomatis kurs rupiah juga akan semakin kuat.
Pintu gerbangnya bisa terbuka dari pasar modal (capital market) maupun pasar barang dan jasa (goods and services market). Nah, langkah selanjutnya bisa dimulai dari kedua pasar, bisa digerakkan secara parsial (terpisah), kausal (saling berpengaruh) maupun simultan (serentak).
BI sudah memulai menambah geliat pasar modal dengan menaikkan suku bunga 7DRR kemarin guna mendongkrak daya tarik pasar modal domestik. Langkah selanjutnya adalah mengamankan agar kinerja pasar modal tidak terhambat dengan menjaga sistem penyaluran dan pengelolaan modal hingga nantinya proyeksi keuntungan yang diterima pemodal.
Di sini peran sektor riil mulai bermunculan. Sektor riil berupa kegiatan konsumsi maupun produksi merupakan lini penting berikutnya sebagai pihak yang mengelola permodalan, baik berupa kredit maupun investasi secara langsung. Lantas untuk menjaga agar keberlangsungan sektor riil tidak terganggu dan menghambat pasar modal, perlu ada insentif dari pemangku kebijakan fiskal (pemerintah).
Kedua, denyut laju perkembangan sektor industri barang dan jasa perlu lebih dipercepat. Peranan sektor industri bisa sangat besar terhadap penguatan harga rupiah, terutama yang pada jenis-jenis industri berorientasi ekspor.
Dalam jangka panjang kita tidak bisa selalu mengandalkan kebijakan BI mengenai pengelolaan devisa mengingat kapasitasnya yang terbatas. Devisa hanyalah pengaman ekonomi dalam jangka pendek. Jangka panjang tergantung pada kinerja transaksi perdagangan, terutama melalui perdagangan barang dan jasa ke luar negeri (ekspor).
Oleh karena itu daya saing ekspor juga harus ditingkatkan. Selain melalui penguatan kualitas produk, ada baiknya kita juga memperhatikan tingkat efisiensi mulai dari tingkat mikro.
Selama ini struktur ekspor kita masih sangat didominasi komoditas mentah yang nilai tambahnya rendah. Industri pengolahan perlu lebih banyak dilibatkan agar nilai tambah transaksi kita juga dapat kian ditingkatkan. Akan tetapi kita juga mengalami banyak kendala dalam transaksi, mulai dari ongkos logistik yang cenderung masih mahal hingga hambatan kelembagaan yang muaranya turut meningkatkan biaya operasional.
Melihat prospek yang tengah berjalan, khususnya melalui geliat pembangunan infrastruktur dan deregulasi kebijakan besar-besaran yang telah dilakukan pemerintah, seharusnya hambatan-hambatan struktural sudah mulai teratasi satu-persatu. Akan tetapi sepertinya kondisi di lapangan belum mendekati ekspektasi. Oleh karena itu perlu ada tindak lanjut atau evaluasi mengapa kondisi perekonomian kita masih berjalan tertatih-tatih seperti yang saat ini sedang terjadi.
Ketiga, pemerintah perlu menyiapkan dukungan dengan memberikan paket insentif pada sektor riil, khususnya pada industri atau komoditas yang prospektif melalui skema pajak dan aturan/regulasi lainnya. Tanpa ekspor yang kuat, dalam jangka panjang kejadian seperti saat ini akan terus berulang dan menunjukkan betapa rentan (fragile) perekonomian nasional terhadap faktor eksternal.
Untuk industri yang memang memiliki pasar yang kuat (market appetite) seharusnya mendapatkan perlakuan yang khusus, terutama untuk tujuan mendorong ekspor. Selain itu akta-akta perjanjian perdagangan bilateral dan/atau multilateral juga perlu ditingkatkan. Tujuan dari perjanjian perdagangan adalah untuk menciptakan kepastian pasar sehingga pengelolaan dan standardisasinya bisa difokuskan agar sesuai dengan kebutuhan pasar (market captive).
Dalam kasus ekspor minyak sawit juga muncul kendala berupa “gempuran” internasional yang seakan-akan ingin menghambat ekspor sawit dari Indonesia. Padahal terlepas dengan berbagai kontroversi yang berkembang di dalam budi daya kelapa sawit, minyak sawit (crude palm oil/CPO) selama ini telah menjadi salah satu komoditas ekspor andalan kita. Sudah banyak devisa yang dihasilkan dari penjualan komoditas tersebut.
Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mereka meminta agar pemerintah memperkuat perjanjian perdagangan dan penyamaan sertifikasi keberlanjutan komoditas minyak kelapa sawit dan turunannya. Langkah itu diperlukan untuk mengatasi hambatan ekspor komoditas kelapa sawit Indonesia di pasar dunia.
Selama ini perlakuan ekspor sawit mengalami banyak diskriminasi karena tidak banyak negara yang bisa menghasilkan CPO. Oleh karena itu munculnya pelarangan ekspor sawit juga perlu ditelusuri agar potensi ekspor kita tidak terabaikan.
Sedangkan insentif untuk kepentingan konsumsi, pemerintah dapat menyalurkan melalui paket diskon atau subsidi. Seperti contoh pada pemberian diskon untuk tarif jalan tol yang berkisar 10–40% merupakan langkah yang positif untuk menurunkan biaya transportasi publik.
Pemberian gaji ke-13 dan 14 juga termasuk insentif dari pemerintah untuk memperkuat daya beli, khususnya menghadapi masa Lebaran dan pergantian tahun ajar pendidikan.
Penulis yakin, semangat kebijakan ini adalah mendorong dan mempertahankan daya beli masyarakat. Langkah yang sama seharusnya juga diadopsi untuk industri yang memiliki potensi ekspor menuju pasar luar negeri. Mereka juga perlu diberi hak insentif fiskal yang targeted.
Mengenai sampai kapan, berapa besar, hingga jenis-jenis insentif apa saja yang hendak diberlakukan ada baiknya untuk terus mengikuti dinamika pasar. Orientasi dari pemberian insentif adalah agar tingkat konsumsi dan produktivitas masyarakat tidak terhimpit oleh mekanisme pasar sehingga insentif fiskal menjadi daya dukung bagi pemerintah agar pasar domestik tetap stabil meskipun guncangan perekonomian eksternal terus mengalami pasang surut.
Dan keempat, bauran kebijakan ini memerlukan komando koordinasi yang kuat terutama melalui instansi yang memiliki tugas dan fungsi koordinasi. Misalnya Kementerian Koordinator Perekonomian yang menaungi beberapa kementerian teknis perlu terus berkoordinasi dengan BI dalam membuat kebijakan terobosan untuk menjadikan perekonomian nasional tangguh. Karena dalam beberapa hal, kedua otoritas bisa akan menemui titik-titik pertentangan atau kebijakan yang bisa bertolak-belakang.
Sebagai contoh terkait suku bunga kredit investasi/produksi. Sektor moneter tentu lebih menginginkan tingkat suku bunga yang angkanya cenderung tinggi. Karena “keuntungan” yang diterima nantinya juga bisa lebih besar.
Akan tetapi bagi pemerintah tingkat bunga yang tinggi justru bisa akan mematikan sektor riil. Karena bunga yang tinggi akan membebani para pelaku usaha. Dan pada akhirnya kinerja sektor kredit tidak lagi akan berjalan efisien bisa karena faktor kredit macet maupun penyerapan kredit yang tidak dapat optimal.
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya