Perkembangan ekonomi Indonesia di awal tahun 2016 ditandai dengan capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama yang terangkum sebesar 4,92% (BPS, 2016).
Capaian ini jelas belum memenuhi target yang dicanangkan pemerintah di kisaran 5% ke atas atau bahkan lebih rendah bila dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada triwulan IV-2015 yang mencapai 5,04%. Namun kabar baiknya jika dibandingkan pada periode yang sama setahun silam (triwulan I-2015) yang hanya terhimpun sebesar 4,73%, pertumbuhan ekonomi kita pada tahun ini menunjukkan tren yang lebih menjanjikan.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings (Fitch) juga kembali mengafirmasi peringkat Indonesia pada level layak investasi (investment grade) pada 23 Mei 2016 yang lalu walaupun lembaga pemeringkat S&P sedikit memberikan nilai agak berbeda. Fitch menyatakan bahwa reformasistruktural( mulaidari paket kebijakan ekonomi serta formula penetapan upah minimum) mulai menunjukkan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga berpengaruh positif terhadap sentimen pasar sebagaimana ditunjukkan dengan stabilnya nilai tukar rupiah.
Meski demikian Presiden Joko Widodo tampaknya belum cukup puas dengan indikator pertumbuhan ekonomi yang ada. Presiden menyinyalir salah satu penyebab belum optimalnya mesin pertumbuhan ekonomi nasional adalah rendahnya tingkat penyerapan anggaran pada kementerian/ lembaga pemerintahan (K/L). Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan keterangan bahwa baru 15 K/L yang pada kuartal pertama sudah melakukan proses penyerapan anggaran meskipunmayoritaspenyerapannya masih berada di bawah 20%.
Masalah ini seakan-akan sudah terdengar sebagai tradisi klasik dan menjelaskan bahwa birokrasi di lingkungan pemerintah belum bisa diajak berlari menyesuaikan dengan perubahan kebijakan yang terjadi saat ini secara efektif dan progresif. Saat ini pemerintah sangat fokus pada kebijakan yang menstimulasi pertumbuhan, sayangnya reformasi birokrasi yang dijalankan belum menampakkan hasil sesuai yang diharapkan. Pembenahan proses hulu-hilir politik anggaran perlu terus ditingkatkan agar kebijakan anggaran dan kualitas layanan publik tidak terus-menerus kehilangan momentum.
*** Menurut catatan BPS, dalam beberapa tahun terakhir pengeluaran (konsumsi) pemerintah secara nominal memang hanya berkontribusi sekitar 6-10% terhadap total PDB. Namun belanja pemerintah tetap memiliki posisi vital dalam pembangunan ekonomi, terutama yang berkaitan kebutuhan belanja strategis seperti di bidang pendidikan dan kesehatan, subsidi yang menunjang daya beli masyarakat, serta pengembangan infrastruktur.
Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui dokumen MP3EI-nya yang dirilis pada 2011 silam, pemerintah seperti semakin tersadarkan bahwa pembangunan infrastruktur perlu dikedepankan untuk membangun konektivitas antarwilayah demi menumbuhkan pembangunan kesejahteraan yang inklusif. Kiprah ini tetap dilanjutkan, bahkan semakin diperkuat di era Presiden Joko Widodo.
Beliaumengambillangkah berani dengan mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak populis dengan mengurangi belanja subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan alasan yang rasional, yaituuntukmenambahpundi- pundi belanja untuk pengembangan infrastruktur strategis. Langkah-langkah yang dilakukan Presiden ini sejalan dengan pemikiran Grigg dan Fontane (2000) yang menjelaskan bagaimana infrastruktur akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas suatu wilayah karena masyarakatnya memiliki akses sumber daya ekonomi yang dibutuhkan untuk kegiatan-kegiatan produktif.
World Bank (2014) sudah mengingatkan bagaimana pentingnya pembangunan infrastruktur untuk kepentingan pembangunan dalam negeri. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia nyaris selalu kehilangan potensi pertumbuhan 1% akibat alokasi belanja infrastruktur yang kurang memadai. Apalagi postur anggaran yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur baik itu dari APBN maupun APBD rata-rata berada di bawah 4%.
Efek buruknya selain terbukti telah menghambat laju pertumbuhan, terbatasnya pergerakan infrastruktur juga memperberat upaya penurunan tingkat kesenjangan antarwilayah dan penduduk.
Dalam perencanaan jangka menengah, Presiden Joko Widodo pada masa baktinya saat ini sudah menetapkan fokus pembangunan untuk jenis- jenis infrastruktur yang berfungsi memperkuat konektivitas antarwilayah serta sarana dan prasarana yang betul-betul berkaitan dengan hajat hidup banyak orang sehingga alokasi belanja yang berkaitan dengan infrastruktur akan banyak terserap untuk pembangunan sarana dan prasarana transportasi (baik darat, laut maupun udara), energi seperti listrik, gas, dan BBM, serta irigasi untuk pertanian (Kementerian Keuangan, 2016).
*** Dalam dokumen RPJMN Nawacita 2015-2019 yang disusun pemerintah, Kementerian Keuangan (2016) mencatat total pendanaan yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia dalam kurun waktu tersebut diperkirakan mencapai Rp4.796,2 triliun.
Dari data tersebut disajikan proyeksi kemampuan pendanaan yang disediakan pemerintah maksimal hanya 63,48% dari total kebutuhan pendanaan, dengan perincian sumbangsih APBN dan APBD sebesar 41,25% dan pembiayaan dari BUMN diperkirakan tidak lebih dari 22,23%. Perhitungan ini disusun Bappenas dengan proyeksi skala optimistis dengan prasyarat proses pertumbuhan ekonomi dan nilai pendapatan negara mampu dicapai sesuai dengan target yang dicanangkan.
Namun jika kita berpikir realistis, sangat mungkin hitungan- hitungan tersebut akan mendapat banyak revisi sebagaimana yang terjadi belakangan ini pada target pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara dari pajak. Belum lagi dengan kondisi keuangan negara yang tengah kembang kempis akibat kerentanan fiskal dengan faktor pendorong meliputi depresiasi nilai tukar rupiah, pelemahan harga komoditas strategis serta kondisi perbankan yang masih dalam proses penyesuaian tingkat bunga di bawah 2 digit.
Dengan posisi kas negara yang begitu terbatas, pemerintah wajib memutar otaknya lebih cepat untuk menyediakan pembiayaan alternatif. Karena, belakangan ini, semangat pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan infrastruktur yang merata mulai terhadang tembok raksasa yang bernama ”pendanaan”.
Target penerimaan negara dari pajak tengah menghadapi situasi genting karena pemerintah sendiri tampak kurang percaya diri untuk mampu memenuhi besaran target penerimaan pajak. (bersambung)
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya