Kebijakan Bank of Japan (BoJ) mengadopsi suku bunga negatif hingga menjadi minus 0,1 mesti dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh pemerintah untuk bisa menarik lebih banyak investasi langsung perusahaan Jepang di Indonesia.

Seperti dikabarkan, BoJ pada Jumat (29/1) mengadopsi kebijakan suku bunga negatif untuk memacu pinjaman dan membantu inflasi ke arah targetnya dua persen. Dengan tingkat suku bunga -0,1 persen itu, berarti bahwa bank-bank yang memarkir uang mereka di bank sentral sebenarnya dikenakan biaya.

Menanggapi kebijakan itu, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, ketika dihubungi, Minggu (31/1), mengatakan daripada berharap dana murah Jepang mengguyur sektor keuangan nasional lebih baik pemerintah fokus untuk bisa menarik investasi langsung, baik untuk membesarkan investasi yang sudah ada maupun berinvestasi di sektor baru.

Sebab, upaya pemerintah Jepang untuk menggenjor sektor riil dalam negerinya terhalang reformasi struktural yang tidak mudah. Selain itu, berharap pada konsumsi domestiknya juga bukan tanpa kendala, sebab secara kultural masyarakat Jepang sudah cukup kuat dalam mengelola keuangan.

Oleh karena itu, menurut Salamuddin, dari situasi tersebut sebenarnya ada kesempatan besar bagi pemerintah untuk menarik lebih banyak investasi langsung di Indonesia kalau reformasi birokrasi, kepastian hukum, dan perijinan bisa mengakomodasikan kepentingan pengusaha-pengusaha Jepang.

“Jepang berharap sektor riilnya tumbuh, barangnya bisa dijual lebih murah lagi ke pasar seluruh dunia. Nah, Indonesia bisa memberikan tawaran yang menarik untuk mereka,” jelas dia.

Dampak negatif dari suku bunga negatif BoJ adalah makin kompetitifnya barang produk Jepang di pasar global. Namun, tidak ada produk nasional yang bersaing langsung dengan produksi Jepang.

“Ancaman yang nyata adalah makin membesarnya impor dari Jepang yang akan makin menambah defisit neraca perdagangan. Maka, untuk mengatasi hal itu mesti diseimbangkan dengan penanaman modal langsung,” ujar Salamuddin.

Sebelumnya, Menko Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan langkah BoJ tidak serta merta bisa mendatangkan inflow bagi Indonesia. Terkecuali, lanjut dia, jika pemerintah sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) dalam denominasi mata uang Jepang atau Samurai Bond, seperti yang pernah digadang-gadang Kementerian Keuangan.

Ekonomi Produktif

Sedangkan pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Candra Fajri Ananda, menilai penurunan tingkat bunga bank sentral Jepang itu sebenarnya bertujuan menstimulasi perekonomian dengan cara mendorong dana yang diparkir di perbankan menjadi kekuatan ekonomi yang produktif, baik melalui konsumsi maupun investasi oleh masyarakat.

“Penurunan sampai negatif karena Jepang mengalami deflasi yang menyebabkan gairah kegiatan ekonomi swasta melempem dan perlu stimulan konsumsi masyarakat untuk merangsang para pelaku usaha mengekspansi usaha,” jelas dia.

Di sisi lain, bank sentral Indonesia masih harus sangat hati-hati untuk melonggarkan sisi moneter dengan mempertahankan tingkat bunga tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman turbulensi ekonomi dunia masih dianggap cukup kuat, dan Bank Indonesia harus melihat penurunan tingkat bunga masih pada opsi yang masih jauh untuk dilakukan